Site icon Madurapers

Eksistensialisme Mahasiswa Telah Dipertanyakan

Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, asal Desa Matanair, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep. Pernah menulis buku kumpulan esai berjudul "Titik Hitam di Pundak Mahasiswa".

Gerakan Fenomenal Mahasiswa Indonesia

Hingga kini, dunia mengakui bahwa mahasiswa adalah pemotor gerakan yang paling masif untuk mengontrol segala kebijakan sosial. Bahkan tidak jarang ditemukan setiap perubahan kebijakan yang terjadi di suatu negara ataupun tatanan sosial dapat berubah pasca gerakan mahasiswa menggiringnya.

Mari kita tarik pembahasan kali ini pada jejak historis yang ada di Indonesia, diakui atau tidak kemerdekaan bangsa ini sebenarnya merupakan akibat dari kenakalan pemudanya atau sekelompok mahasiswa yang telah berani menculik Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, penculikan itu kita kenal dengan istilah Rengasdengklok.

Pada saat itu, Bung Karno sebagai sosok yang sangat berpengaruh di tengah bangsa ini masih ingin mempertimbangkan kemerdekaan Indonesia lebih mendalam. Akan tetapi pendapat tersebut bertolak belakang dengan pandangan kaum muda yang ingin segera memproklamasikan kemerdekaannya. Sehingga merekapun menculik dan mendesak Bung Karno agar segera menggelar proklamasi, dan pada 17 Agustus 1945 kemerdekaan itu resmi diproklamasikan.

Gerakan mahasiswa yang tidak kalah fenomenal yaitu aksi 98. Pemerintahan Presiden Soeharto dinilai telah merundung banyak kesengsaraan, bahkan krisis ekonomi terjadi di mana-mana, serta juga banyak latar belakang lainnya yang mendorong mahasiswa untuk membangun gerakan besar-besaran guna menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.

Sekalipun baku tembak dan penganiayaan terhadap mahasiswa telah menjadi rahasia umum di balik tragedi tersebut, namun sejarah membuktikan bahwa suara rakyat yang diusung oleh mahasiswa dapat menaklukkan segalanya, termasuk meruntuhkan rezim.

Sampai saat ini pun, mahasiswa tetap dikenal dengan identitasnya yang demikian, yaitu bertekad besar dalam menggenggam idealisme untuk berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, dan tidak mau dimonopoli oleh sebagian kelompok. Katanya sih seperti itu, entah bagaimana dengan realita yang disadari oleh setiap pribadi aktivis mahasiswa masa kini.

Eksistensialisme Mahasiswa Mulai Dipertanyakan

Sejak tahun 2019, dunia dibuat kacau dengan munculnya virus yang telah berhasil menjadi pandemi, virus itu dikenal dengan sebutan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Awal kemunculannya berasal dari Kota Wuhan, China. Virus tersebut masuk ke Indonesia pada awal tahun 2020, dan sama persis seperti negara lain di dunia, virus ini telah berhasil memporak porandakan negara Indonesia.

Ironisnya, mewabahnya Covid-19 di negara lain bisa teratasi dengan cepat, akan tetapi berbeda dengan Indonesia yang hingga saat ini masih tetap parah. Sehingga pelbagai asumsi publik pun tidak bisa dihindari bahwa pemerintah telah bermain bisnis dibalik ini semua. Demikian juga dengan penilaian sejumlah mahasiswa yang berpendapat bahwa pemerintah telah mengambil kesempatan untuk kepentingannya sendiri di balik mewabahnya Covid-19.

Hal ini sempat ramai dilontarkan di forum-forum mahasiswa, aksi demonstrasi, dan lain sebagainya, pada saat pemerintah membahas RUU Omnibus Law. Padahal, di samping itu masyarakat diminta untuk menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan tidak beraktivitas di luar rumah, akan tetapi pemerintah malah berduyun-duyun mengambil kesempatan ini untuk membahas RUU tersebut, begitulah kira-kira ungkapan mahasiswa pada saat itu.

Semakin ke sini, polemik di balik pandemi Covid-19 semakin memanas, kritik yang disampaikan oleh masyarakat melalui berbagai media telah dibungkam secara halus, poster-poster yang bernarasi kritis terhadap kepemerintahan mulai ditutupi, bahkan aksi demonstrasi harus dibatasi jumlah massanya dengan dalih penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Melihat polemik yang terjadi di tengah bangsa ini, patut kiranya kita pertanyakan dimana letak peran mahasiswa yang katanya adalah pioner gerakan sosial atau kontrol sosial. Mungkinkah eksistensialisme yang awalnya sering didiskusikan itu telah padam, sehingga lebih tertarik untuk ikut arus pada perguliran zaman, atau bisa jadi wahana berpikir mereka telah kering lantaran pendidikan yang diberikan padanya sangat gersang. Entahlah.

Mahasiswa memanglah pemotor gerakan paling masif diantara banyak gerakan yang lainnya, akan tetapi setiap gerakan yang dibangun itu tidak akan ada artinya jika dia tidak paham pada konflik yang terjadi atau bahkan hanya sekadar mengaku paham. Salah satu pakar strategi perang di China, Sun Tzu mengatakan, “kenali dirimu maka 50 persen kemenangan di tanganmu, kenali lawanmu maka 50 persen kemenangan di tanganmu, kenali dirimu dan lawanmu maka 100 persen kemenangan ada di tanganmu”. Maka dari hal itu dalam membangun sebuah gerakan tentunya mahasiswa harus paham dengan eksistensialisme-nya sendiri, sehingga yang dilakukan itu tidak menjadi bumerang baginya.

Hal ini bukan berarti menjadikan mahasiswa untuk berdiam diri, melihat realita yang terjadi, selebihnya didiskusikan dan akan dikawalnya jika kondisi mulai mereda. Diskursus yang didapat dari hasil diskusi hanya akan menjadi mimpi gerakan yang utopis jika tidak segera direalisasikan. Sebab perubahan hanya bisa tercipta oleh usaha taktis bukan mimpi dan ilusi.

Bangsa ini membutuhkan pemuda untuk dapat bebas dari konflik yang sedang menjeratnya, dan pemuda harus sadar akan posisi dan peranannya. Idealisme tidak hanya menjadi jajanan di atas meja kopi, akan tetapi dapat dijadikan kekuatan besar untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik. Salam mahasiswa!.

*Penulis adalah Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, asal Desa Matanair, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep. Pernah menulis buku kumpulan esai berjudul “Titik Hitam di Pundak Mahasiswa”. Saat ini menjadi wartawan di madurapers.com

Exit mobile version