NANO-NANO bukan nama sebuah permen saja yang bisa dirasakan di lidah saja, karena alat perasa ternyata bukan di lidah saja, namun hati juga bisa merasakan. Aneh bukan jika kita bisa melakukan korupsi syari’ah. Sebenarnya sih ya aneh, tapi faktanya praktek di negara ini banyak manusia sadar atau tidak sadar sudah sering melakukan korupsi syari’ah.
Mari kita lihat dari masjid, untuk membangun sebuah masjid sekalipun merenovasi atau pengadaan fasilitas lainnya, maka tidak mungkin takmir masjid yang akan datang kepada kantor perwakilan itu. Sebab, takmir masjid itu siapa? Kok bisa-bisanya mengajukan dana bantuan pembangunan masjid ke kantor perwakilan.
Jika takmir masjid itu datang ke kantor perwakilan tanpa melibatkan manusia perwakilan, maka akan sulit untuk mencarikan dana bantuan. Sebab asal si takmir ini tidak dikenal oleh manusia yang bisa mencairkan dana.
Setelah dana bantuan dicairkan, maka banyak istilah upah atau uang lelah atau uang terimakasih kepada manusia perwakilan yang sudah membantu dalam mencairkan dana. Maka itu tidak asing lagi, bahkan takmir sudah merasa terbantu walaupun dana yang dicairkan terpotong oleh manusia perwakilan. Logikanya simple, andai tidak ada si dia, saya tidak dapat bisa mencairkan dana bantuan tersebut.
Lebih dari itu, semua lembaga sosial baik panti asuhan, yayasan pendidikan, pengabdian dan lain-lain juga mengalami hal yang sama ketika mengajukan dana bantuan tersebut.
Namun menjadi suatu nano nano rasanya, asam manis di hati ketika sudah ada pajak yang harus dibayar saat dana bantuan sudah cair. Namun masih ada istilah uang lelah, uang terimakasih atau nama lainnya adalah upah.
Melihat peristiwa seperti ini seolah-olah manusia yang berkepentingan dan mengambil keuntungan merasa tidak bersalah, bahkan anggap masyarakat adalah manusia super power yang punya pengaruh dalam mencairkan dana.
Padahal uang tersebut sepenuhnya digunakan untuk bantuan, sementara mereka sudah mendapatkan gaji tetap bulanan. Tetapi masih mengambil keuntungan di luar gaji pokok hasil pencairan dana bantuan.
Kerangka berpikir yang sudah umum di masyarakat, bahwa manusia perwakilan tersebut yang sudah membantu dalam membantu pencairan dana bantuan kemudian mengambil upah, uang lelah atau uang terimakasih.
Ditelaah lebih jauh bahwa dana bantuan yang disalurkan di lembaga-lembaga merupakan hasil dari korupsi. Namun untuk mensucikan dana bantuan tersebut, maka uang tersebut disumbangkan di lembaga sosial dan agama, maka hal tersebut bisalah dinamakan zakat.
Padahal zakat itu dikeluarkan dari dana pribadi yang dimiliki selama satu tahun dan sudah mencapai nasab. Adapun dana tersebut yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang baik dan halal.
Namun apologi atau alasan yang berkembang di tataran para elite manusia perwakilan, bahwa ketika dana bantuan itu dikeluarkan dari hasil korupsi, maka dianggap dana itu sudah menjadi suci dan halal.
Sederhananya sebuah tindakan yang dilakukan walaupun pada awal mulanya adalah tidak baik atau tidak halal, namun ketika ditujukan dengan maksud dan tujuan yang baik, maka rejeki tersebut seolah-olah adalah baik dan tidak bersalah, maka hasil yang didapatkan juga sudah dianggap suci atau halal.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.