Site icon Madurapers

Greenflation: Kenali Istilah dan dari Mana Dasarnya

Ilustrasi greenflation (inflasi hijau) yang menimpa negara-negara di dunia akhir-akhir ini

Ilustrasi greenflation (inflasi hijau) yang menimpa negara-negara di dunia akhir-akhir ini (Dok. Madurapers, 2024).

Bangkalan – Istilah “greenflation” menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat pasca Debat Keempat Pilpres 2024 pada Minggu, 21 Januari 2024. Cawapres Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengajukan pertanyaan mengenai istilah tersebut kepada Cawapres Nomor Urut 3, Mahfud MD., dalam debat tersebut, Minggu (28/1/2024).

Terlepas dari dinamika perdebatan di atas panggung politik, masyarakat pun menjadi penasaran dengan arti sebenarnya dari istilah ini, serta bagaimana dasarnya dan strategi mengatasi dampak yang mungkin ditimbulkannya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri penjelasan singkat yang dikutip dari artikel Athenais Gagey, seorang penulis filonomist yang fokus pada Filsafat, Politik, dan Ekonomi di Universitas Warwick, Inggris, seperti yang dilansir dalam Philonomist.

Secara singkat, istilah “greenflation” merujuk pada kenaikan harga (inflasi) bahan mentah dan energi sebagai akibat dari peralihan ke ekonomi hijau. Ini bukanlah inflasi yang bersifat sementara, tetapi cenderung menjadi permasalahan jangka panjang, terutama setelah rencana pemulihan pascapandemi yang diintensifkan oleh perang di Ukraina.

Dengan kata lain, “greenflation” mencerminkan realitas bahwa upaya negara-negara untuk memenuhi komitmen lingkungannya dapat memicu inflasi yang signifikan. Peningkatan pengeluaran untuk teknologi bebas karbon, sebagai bagian dari upaya tersebut, berkontribusi pada inflasi bahan-bahan yang menjadi komponen strategis dalam infrastruktur hijau.

Di sisi lain, regulasi lingkungan yang semakin ketat dapat membatasi investasi pada proyek pertambangan yang memiliki dampak lingkungan tinggi, mempengaruhi pasokan bahan baku. Akibatnya, transisi hijau menjadi lebih mahal karena penerapannya menjadi lebih luas.

Sebagai contoh, pajak karbon di Prancis, meskipun memiliki alasan yang kuat dari perspektif lingkungan, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar, memicu protes massal seperti yang terjadi dalam gerakan “Rompi Kuning” di Prancis pada tahun 2018.

Ketidakpastian harga juga mencakup logam strategis seperti litium, yang harganya melonjak 400% pada tahun 2021 untuk pembuatan baterai mobil listrik. Aluminium, yang digunakan dalam produksi energi surya dan angin, mengalami kenaikan harga dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, dipengaruhi oleh kebijakan pembatasan produksi yang diadopsi oleh China, produsen 60% dari seluruh aluminium global.

Trend ini diperkirakan akan berlanjut dalam jangka panjang, terutama dengan langkah-langkah China untuk mencapai netralitas karbon dengan membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi.

Menghadapi situasi ini, pendekatan ekonomi liberalisme cenderung fokus pada efisiensi, sementara sosialisme ekonomi lebih menekankan pada kesetaraan. Namun, “greenflation” membawa kita pada konfrontasi antara keadilan sosial dan kebutuhan mendesak dalam isu lingkungan hidup. Oleh karena itu, keyakinan ideologis mungkin tidak lagi menjadi pedoman yang pasti dalam menghadapi tantangan ini.

Meskipun demikian, ada beberapa strategi yang dapat membantu mengurangi biaya transisi ke arah ramah lingkungan. Salah satunya adalah praktik daur ulang baterai listrik, seperti yang diterapkan di Prancis, dan kesepakatan hijau di Uni Eropa.

Daur ulang baterai listrik menjadi langkah penting untuk menyediakan logam yang dibutuhkan dalam produksi teknologi ramah lingkungan, sementara kesepakatan hijau bertujuan untuk memastikan bahwa transisi ini tidak hanya berdampak positif pada lingkungan, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dengan menciptakan dana khusus untuk perubahan iklim. Dana ini diharapkan dapat mengatasi kemiskinan yang terkait dengan biaya energi dan mobilitas.

Sebagai penutup, “greenflation” adalah tantangan serius yang membutuhkan pendekatan holistik dan solusi terpadu dari pemerintah, industri, dan masyarakat. Dalam menghadapi kompleksitasnya, kolaborasi antar sektor di berbagai tingkatan akan menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Exit mobile version