BERBICARA soal identitas politik dan politik identitas menjadi suatu pembahasan inten oleh salah satu tokoh cendikiawan muslim Indonesia, yaitu Kuntowijoyo. Salah satu buku karya Kuntowiyono berjudul “Identitas Politik Umat Islam” mengangkat pembahasan identitas politik dan politik identitas.
Ihwal politik, sebagian kalangan masih fobia dan menilai bahwa politik merupakan sesuatu atau aktivitas yang kotor, culas, korupsi, dan semata penilaian negative lainnya yang dituduhkan kepada politik. Tidak heran bahwa sebagian orang sekitar kita tetap antipasti terhadap politik.
Hal tersebut lantaran mereka memaknai politik secara dangkal bahkan parahnya lagi mereka menjustis politik karena praktek dan perilaku pelaku politik (politisi) yang ditangkap KPK menggunakan uang untuk memperoleh jabatan dan seterusnya.
Konsepsi berfikir semacam ini harus dirubah dan mari kita berfikir lebih maju kedepan. Artinya, sikap tersebut disebabkan mereka belum pernah mencoba mendalami secara utuh dan mengenal politik secara dekat.
Politik menurut kamus filsafat didefinisikan oleh Ariestoteles, adalah suatu proses mengelola suatu Negara untuk mencapai tujuan keesejahteraan bersama.
Fitrah manusia diciptakan tidak lepas dari pada yang namnya tanggung jawab mengatur dan mengelola lingkungan sosial sebagaimana al-Quran menyebut manusia sebagai ‘Khalifah’. Penyematan ‘Khalifah’ terhadap manusia merupakan gembaran sederhana terkait tanggung jawab manusia demi mewujudkan tatanan sosial yang damai, tanpa peperangan serta sejatera.
Sampai di sini penulis rasa cukup soal pembicaraan politik, dan tidak ada alasan untuk anti terhadap politik. Berpolitik tidak harus berpartai, atau mempunyai jabatan politik. Masyarakat yang berpolitik dapat diartikan partisipasi dari lapisan atau elemen masyarakat, baik memposisikan diri sebagai mitra strategis ataupun sebagai mitra kritis.
Identitas Politik
Adapun identitas politik merupakan konstruksi berfikir yang memposisikan kepentingan subjek dalam suatu ikatan kelompok atau golongan politik tertentu. Suatu identitas tertentu mempunyai pola atau konsep politik masing-masing yang dapat diakui sebagai bagian dari kekhasan.
Kapitalisme sebagai salah satu aliran ideologi besar dunia memiliki konsep politik demokrasi liberal dan pemberlakuan kepemilikian suwasta secara penuh, bahwa Negara tidak diperkenankan ikut campur dalam urusan warga negara.
Sebaliknya komunisme menentukan identitas diri dalam aspek politiknya adalah kepemilikan negara, bahwa personal tidak mempunyai hak kepemilikan.
Bahkan Islam sendiri mencoba merumuskan kosenpi politiknya sendiri walaupun sampai saat ini belum ada konsepsi kenegaraan yang absah.
Semuanya berupaya mewujudkan yang namanya kesejahteraan umum walaupun pada prakteknya seringkali berujung diskriminasi, penindasan bahkan pembantaian.
Politik Identitas
Politik identitas lebih mengacu pada mekanisme pengorganisasian identitas atas dasar perbedaan identitas tersebut. Mobilisasi massa dan penggiringan opini pada sentimen perbedaan identitas tertentu menjadi inti dari pada politik identitas.
Agnes Heller mendefinsikan, politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu klasifikasi politik yang utama.
Sedangkan, pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz, mendefinisikan politik identitas adalah pemberian garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak dengan alasan perbedaan identitas.
Menurut Widayanti, proses pembentukan identitas ada tiga; Pertama, Primordialisme, diperoleh secara alamiah atau turun temurun; kedua, konstruktivisme, yaitu dibentuk oleh proses sosial; ketiga, instrumentalisme, yaitu dibentuk untuk kepentingan elit tertentu.
Merujuk pada beberapa pemahaman di atas, politik identitas berakar pada stereotip yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti konsep politik Aristoteles, primordialisme berarti ‘berperang ke luar dan konsolidasi ke dalam’.
Konflik Politik Identitas
Penggunaan cara pandang sentimen kelompok atau golongan tertentu menjadi memicu munculnya konflik yang berefek domino. Karena itu, penggunaan politik identitas senantiasa diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun dialektik. Politik identitas selalu hadir dalam ketegangan antar mayoritas dan minoritas, superioritas dan inferioritas.
Kasus konflik ini sempat terjadi dibeberapa tempat; di Kalimantan Selatan 2010 pada saat Zaerullah Azzar-Aboe Bakar Al Habsyi mencalonkan diri kemudian dimunculkan sentiment kesukuan. Karena dia bukan Banua alias bukan pribumi asli Kalimantan.
Per 2017, terjadi di Jakarta pada kontestasi pemilihan Gubernur yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan isu penistaan agama. Bahkan pecah pada gerakan sparatis, Gerakan 212 yang mengatasnakan diri pembela Islam.
Di Pilkada Kota Solo 2015, saat pencalonan FX Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik dan Pilkada Kabupaten Banjarnegara 2017 dengan calon Budhi Sarwono alias Wing Chin dengan latar belakang etnis Tionghoa. Lagi-lagi dibangun sentiment dan penolakan atas dasar perbedaan identitas.
Menuju Pemilu 2024
Setiap perhelatan politik kental dengan penggunaan politik identitas sebagai salah satu cara mengais suara dan melumpuhkan lawan politik. Ini menjadi cerminan politik yang tidak higenis dan tidak sehat. Pasalnya, kita ingat 2014 dan 2018 silam, penggiringan opini dan narasi rasis dan sektoral gencar digaungkan.
Presiden Jokowi yang pada saat itu sebagai calon diisukan keturunan Komunis yang akan mengancam kesatuan Bangsa, kemudian diisukan tidak bisa membaca al-Qur’an atau gamblangnya meragukan keislaman Jokowi.
Lagi-lagi penggiringin isu agama di Indonesia menjadi sangat sensitif. Jadi tidak salah bahwa isu agama menjadi pilihan senjata ampuh untuk menggulirkan isu yang bertujuan perpecahan politik yang tidak jarang pula berimbas pada perpecahan sosial.
Masyarakat Indoensia masih sangat rentan akan isu-isu identitas terlebih isu ras, etnis, budaya dan agama. Ini menandakan lemahnya wawasan pluralisme yang dimiliki Masyarakat Indonesia. Mereka mengakui bahwa Indonesia bergam, akan tetapi tidak dalam bentuk sikap.
Sama salahnya dengan para politisi yang kemudian menggunakan isu identitas sebagai senjata memperoleh kepentingan atau jabatan. Menjadi dosa besar para politisi karena tindakan tersebut berimbas pada perpecahan Bangsa. Ini melanggar asa Negara Benika Tunggal Ika.
Teori Objektivitas Kuntowijoyo
Dalam buku “Identitas Politik Umat Islam”, Kuntowijoyo menjelaskan tentang teori objektivitas. Objektivitas merupakan upaya mengesampingkan simbol atau cover, serta lebih mengutamakan esensi. Esensi politik Islam adalah perwujudan baldatun thayyibah wa rabbul ghafur, Negara yang damai, tentram, berkeadilan dan mensejahterakan atau sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan negara Indonesia adalah mencerdaskan anak bangsa, melindungi dan mensejahterakan.
Alih-alih ingin melebelisasi negara Islam tidak menjadi hal yang penting diperjuangkan sebab apalah arti identitas atau label bilamana isinya tidak sesuai dengan kemasan tersebut. Penekanannya adalah upaya penerapan atau pengamalan nilai-nilai keislaman di Indonesia, tetekbengek urusan kenegaraan diwarnai dengan spirit keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam konteks kepemilian, penggunaan sentiman identitas merupakan suatu bentuk ketidak dewasaan dalam berpolitik. Klasifikasi yang harus digunakan dalam proses memilih pemimpin di setiap tingkatan pemerintahan harus melalui pertimbangan yang objektif, yaitu kapasitas dan kapabilitas calon pemimpin itu sendiri. Pradigma ini harus tumbuh mulai dari tataran bawah sampai pada tataran elit politik.
Syamsul Hadi adalah alumni STIU Darussalam Bangkalan, saat ini aktif di PMII Bangkalan