Sampang – Kabupaten Sampang, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, sebagai wilayah dengan nilai skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2019-2024. Meskipun selama periode tersebut mengalami pertumbuhan setiap tahun, posisinya tetap terbenam di peringkat 38 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Data BPS Kabupaten Sampang membuktikan bahwa dalam rentang waktu 2019 hingga 2024, skor IPM Sampang hanya mampu merangkak dari angka 61,94 menjadi 66,72. Kenaikan sebesar 4,78 poin ini menunjukkan pertumbuhan 7,71 persen selama lima tahun terakhir.
Pada tahun 2019, IPM Sampang berada di angka 61,94 dengan status “sedang”, dan angka itu naik menjadi 62,70 di tahun 2020—kenaikan tertinggi sepanjang periode ini, yakni sebesar 1,23 persen. Namun, capaian ini belum mampu mengangkat status maupun peringkat IPM kabupaten yang berada Pulau Madura.
Tahun 2021 mencatatkan kenaikan yang sangat lambat, hanya 0,16 persen atau 0,10 poin menjadi 62,80. Angka ini menjadi sinyal bahwa upaya peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan pendapatan belum menyentuh akar persoalan mendasar.
Pada tahun 2022, IPM Sampang naik menjadi 63,39 atau tumbuh 0,94 persen. Kenaikan ini belum cukup mengangkat Sampang dari jerat ketertinggalan dibandingkan daerah lain di Jawa Timur yang melesat lebih cepat.
Tahun 2023 menjadi momen lonjakan terbesar kedua, ketika IPM naik menjadi 66,19 atau tumbuh 1,15 persen. Sayangnya, meski ada percepatan, peringkat Sampang masih tak bergerak dari posisi buncit.
Tahun 2024 menyaksikan IPM Sampang bertambah menjadi 66,72, dengan pertumbuhan 0,79 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini mempertegas pola kenaikan IPM yang inkonsisten dan cenderung melambat.
Jika dirata-rata, selama 2019 hingga 2024, pertumbuhan IPM Sampang belum mencapai 1 persen per tahun. Artinya, meskipun ada upaya dan geliat pembangunan, hasilnya tetap jauh dari memadai.
Pemerintah Kabupaten Sampang harus lebih dari sekadar merayakan kenaikan angka. Tantangannya bukan hanya mengejar ketertinggalan, tapi juga membalik persepsi sebagai wilayah “tertinggal abadi” dalam peta pembangunan Jawa Timur.
Rendahnya IPM mencerminkan kondisi pendidikan yang belum merata, kualitas layanan kesehatan yang tertinggal, dan penghasilan masyarakat yang masih jauh dari layak. Ini bukan hanya angka statistik, tetapi cerminan nyata dari kesejahteraan yang belum tercapai.
Setiap kenaikan IPM di Sampang sejauh ini belum mampu menjadi daya dorong bagi perubahan struktural. Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan di Kabupaten Sampang harus mengevaluasi pendekatan pembangunan yang terlalu lambat dan bersifat tambal sulam.
Jika Sampang ingin keluar dari stigma “juru kunci” pembangunan manusia di Jawa Timur, maka dibutuhkan terobosan, bukan sekadar program rutin. Perubahan harus dimulai dari keberanian mengakui kegagalan dan keseriusan memperbaikinya.