Jakarta – Keterlibatan Polri dalam politik praktis dan bisnis telah menjadi perbincangan hangat di era pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam analisis Mohammad Darry dan Diah Asri dalam artikel “Problematika Netralitas Polri di Era Jokowi: Keterlibatan dalam Politik Praktis dan Bisnis (2022), ada dua faktor utama yang melatarbelakangi keterlibatan Polri dalam politik praktis dan bisnis.
Pertama, adanya kepentingan dari pihak penguasa. Kedudukan Polri yang langsung berada di bawah presiden serta kewenangan diskresi yang besar membuat institusi ini rentan menjadi alat politik. Kurangnya pengawasan eksternal terhadap independensi dan akuntabilitas Polri, terutama terkait anggaran, membuka peluang untuk memanfaatkan institusi ini demi kepentingan penguasa.
Salah satu dampaknya adalah rangkap jabatan, yang sering kali muncul sebagai bentuk balas budi kepada pejabat tertentu sekaligus untuk mengamankan kepentingan politik pemerintah.
Kedua, di dalam internal Polri sendiri, kewenangan diskresi sering kali dimanfaatkan untuk memberikan jabatan tambahan kepada perwira tinggi yang belum mendapatkan posisi di struktur organisasi Polri.
Rangkap jabatan ini sering kali melibatkan tanggung jawab di luar fungsi keamanan, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dan bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Polri.
Dampak terhadap Demokrasi dan Publik
Keterlibatan Polri di luar tugas utamanya, menurut Mohammad Darry dan Diah Asri (2022), membawa dampak serius terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Mengacu pada teori Security Sector Reform, masalah-masalah dalam reformasi kepolisian, seperti perspektif kelembagaan dan mekanisme kontrol, belum ditangani secara konsisten. Hal ini berimbas pada stagnansi demokrasi di Indonesia.
Fenomena ini juga memengaruhi kepercayaan publik terhadap Polri. Berbagai tagar seperti “#PercumaLaporPolisi” yang ramai di media sosial mencerminkan pesimisme masyarakat. Polri dianggap mengulangi pola lama “Dwifungsi” yang dulu melekat pada ABRI di era Orde Baru, di mana kepolisian terlibat dalam politik dan bisnis.
Selain itu, jabatan-jabatan publik yang diisi oleh perwira tinggi Polri kerap tidak berbasis sistem merit. Penunjukan ini dianggap hanya sebagai hasil hubungan timbal balik dengan penguasa, bukan berdasarkan profesionalitas atau kapabilitas. Hal ini bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan dalam pengisian jabatan publik.
Solusi untuk Reformasi Polri
Untuk mengatasi masalah ini, Mohammad Darry dan Diah Asri (2022) dalam karya ilmiahnya mengusulkan beberapa langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, revisi UU Polri Nomor 2 Tahun 2002. Undang-Undang ini perlu diperbarui agar lebih relevan dengan perkembangan zaman dan untuk menghilangkan ambiguitas terkait fungsi Polri. Revisi ini diharapkan dapat mempertegas batasan peran Polri dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Kedua, restrukturisasi kelembagaan Polri sebaiknya tidak langsung berada di bawah presiden. Menempatkan Polri di bawah kementerian tertentu akan membantu meminimalkan konflik kepentingan dan penggunaan institusi ini untuk tujuan politik praktis.
Ketiga, pembentukan lembaga pengawas independen dari Polri dan pemerintah. Lembaga ini, yang terdiri dari masyarakat sipil, akan memastikan reformasi Polri berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
Langkah-langkah ini diharapkan mampu menciptakan Polri yang profesional, independen, dan akuntabel. Dengan demikian, Polri dapat berfungsi sebagai civic police yang mendukung demokrasi dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Reformasi Polri tidak hanya menjadi kebutuhan mendesak, tetapi juga menjadi kunci untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan berintegritas.