Bangkalan – Dugaan jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS) di SDN Kemayoran 1 Bangkalan, yang diberitakan Madurapers, memicu sorotan publik. Wali murid mengaku diminta membeli enam buku LKS seharga Rp13.000 per buku.
Wahyudi, Dosen Linguistik UNIBA Madura, menilai kasus ini bisa dianalisis kebenarannya melalui pendekatan korespondensi (empirik) dan koherensi (verbal). Ia menyebut pengakuan wali murid sebagai data empirik yang menunjukkan adanya transaksi di sekolah.
Namun, Kepala Sekolah Nurhayati Eka membantah tuduhan tersebut dan mengklaim penjualan LKS hasil kesepakatan paguyuban dan wali murid. Wahyudi menilai bantahan ini menciptakan kontradiksi empirik karena belum ada bukti tertulis yang mendukung klaim itu.
Fakta empirik lainnya mengungkap bahwa Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) seharusnya mencukupi pembelian buku tanpa membebani wali murid. Jika benar terjadi kesepakatan, pihak sekolah perlu menunjukkan bukti tertulis dan transparansi penggunaan Dana BOS.
Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Bangkalan, Ali Yusri Purwanto, menyatakan akan memanggil pihak terkait untuk memverifikasi fakta lapangan. Pernyataannya menegaskan pentingnya klarifikasi agar kebenaran empirik kasus ini terungkap.
Menurut Wahyudi, analisis kebenaran korespondensi atau empirik mengharuskan klaim sesuai dengan kenyataan, namun hal itu belum terwujud. Selama bukti konkret belum muncul, tuduhan jual beli LKS tetap bersifat tentatif.
Secara koherensi, Wahyudi menegaskan bahwa klaim kesepakatan harus konsisten dengan regulasi yang berlaku. Ia merujuk pada Permendikbud No. 8 Tahun 2016 dan PP No. 17 Tahun 2010 yang melarang tenaga pendidik menjual buku di sekolah.
Argumen pihak sekolah dinilai tidak koheren (tidak konsisten/selaras) karena kesepakatan informal tidak bisa mengesampingkan aturan hukum. Dana BOS, jika digunakan sesuai juknis, dapat mencukupi kebutuhan buku tambahan tanpa membebani siswa.
Yusri juga menegaskan perlunya optimalisasi Dana BOS agar kebutuhan pendidikan terpenuhi sesuai prosedur resmi. Hal ini menunjukkan bahwa jalur yang sah telah tersedia tanpa harus melibatkan praktik jual beli.
Wahyudi menambahkan, Permendikbud No. 75 Tahun 2020 juga mengatur pengawasan agar praktik komersialisasi pendidikan tidak terjadi. Karena itu, klaim kesepakatan pembelian LKS gagal memenuhi prinsip konsistensi hukum.
Konsistensi antara pernyataan, praktik, dan aturan menjadi faktor kunci dalam mengungkap kebenaran kasus ini. Wahyudi menyimpulkan, tuduhan ini memerlukan klarifikasi lebih lanjut dengan bukti konkret agar integritas dunia pendidikan tetap terjaga.