Jakarta – Isu pagar laut sepanjang 30 kilometer di Tangerang, Banten, yang diduga menjadi bagian dari proyek reklamasi, menuai perhatian publik setelah berbagai narasi dan kontroversi mencuat di media massa dan media sosial.
Dosen hukum Universitas Hasanuddin, Hamid Awaluddin, menilai keberadaan pagar laut tersebut mencerminkan deklarasi penaklukan negara oleh oligarki, sebuah pandangan yang ia sampaikan dalam program Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Kamis (23/01/2025).
Hamid menjelaskan bahwa pembangunan pagar laut ini tidak hanya melibatkan pelanggaran administratif, tetapi juga pelanggaran hukum sistematis yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan ekonominya.
Menurut Hamid, salah satu kasus yang paling mencolok adalah keberadaan Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut, yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai prosedur hukum yang mendasari pemberian izin tersebut.
Pandangan serupa disampaikan oleh Henry Subiakto, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, yang menegaskan perlunya transparansi dan penegakan hukum terkait masalah ini melalui unggahannya di platform X, Jumat (24/01/2025).
Henry menyoroti bahwa polemik seputar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan reklamasi di PIK 2 menjadi simbol dari keruwetan pengelolaan sumber daya alam yang kerap menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia.
“Kalau sudah ada unsur penipuan, atau unsur manipulasi, apalagi unsur perbuatan di luar kewenangan hukum, tentu unsur pidananya semakin kuat. Penegak hukum atas nama kepentingan negara harus mengusut, memastikan dan menindak semua pelaku yang sengaja ingin menguasai tanah, pantai, dan laut secara melanggar hukum,” tegas Henry dalam unggahannya.
Henry juga mempertanyakan legalitas HGB di laut yang diduga diberikan berdasarkan manipulasi data atau rekayasa pihak tertentu yang ingin menguasai sumber daya di wilayah tersebut.
Menurut Henry, penting bagi aparat penegak hukum untuk memastikan siapa saja yang terlibat, mulai dari pihak yang menyuruh, melindungi, hingga mereka yang memperoleh keuntungan besar dari kasus ini.
Ia juga menekankan perlunya identifikasi terhadap peraturan perundangan yang dilanggar serta perhitungan kerugian negara akibat pelanggaran ini, demi memastikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.
Kedua pakar tersebut sama-sama menyoroti pentingnya investigasi mendalam untuk mengungkap apakah pelanggaran hukum dalam kasus ini bersifat administratif atau sudah masuk ranah pidana.
Kegaduhan yang berlangsung selama berminggu-minggu, mulai dari perang narasi di media hingga pembongkaran pagar laut oleh TNI dan masyarakat, menunjukkan kompleksitas kasus ini.
Henry menambahkan, agar parat hukum tidak boleh ragu bertindak tegas demi memastikan keadilan dan mencegah penguasaan tanah, pantai, dan laut secara melanggar hukum.