Site icon Madurapers

Korupsi, Perpecahan, dan Keruntuhan Kerajaan Bangkalan

Syamsul Hadi, Pengurus Cabang PMII Bangkalan (Dok. Madurapers, 2022)

Negara Indonesia yang saat ini kita ketahui dan saksikan tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarah. Di bumi Nusantara–yang sebagian wilayahnya saat ini disebut Indonesia–dahulu kala banyak dikdaya kerajaan-kerajaan besar yang mempengaruhi dunia seperti Majapahit, Sriwijaya dan Singosari.

Konsep kerajaan memberlakukan pergantian pemimpin atau raja secara monarki, atau turun temurun. Yang mempunyai hak untuk menjadi pemimpin hanya anak atau keturunan raja.

Bagi yang melek sejarah, melihat Indonesia saat ini tidak begitu heran dan kaget akan praktek nilai-nilai kerajaan yang tetap berlangsung dan lestari termasuk diantaranya adalah budaya monarki. Sebab, warisan sejarah kita memang berbicara demikian.

Perbedaan monarki dulu dan saat ini hanya terletak pada kemasan; pada masa kerajaan dahulu, monarki diberlakukan dengan sistem otoriter-frontal sedangkan monarki saat ini lebih disuguhkan dengan nuansa demokratis.

Terbukti, bagaimana prosesi Pemilihan Umum yang menjadi tiang penyangga demokrasi dilakukan lima tahun satu kali baik di tingkat desa, daerah kabupaten, provinsi dan nasional. Di mana calon pemimpin yang akan dipilih tidak lain adalah ketentuan Partai Politik. Kita tidak dapat menutup mata bahwa keberlangsungan iklim Parpol tidak ubahnya kerajaan dimana kepemimpinan partai adalah warisan turun-tenurun.

Sebagaimana baru-baru ini kita saksikan dinamika partai politik, terutama partai PDI-P. Salah satu kader terbaik partai sempat diisukan akan nyalon Presiden yang kemudian menuai respon penolakan dari pimpinan tertinggi, Megawati Sukarno Putri. Megawati melalui partai PDI lebih cenderung ingin merekomendasikan Puan Maharani yang merupakan putrinya sendiri.

Warisan kerajaan semacam ini juga amat tampak jelas kita saksikan di kabupaten Bangkalan. Dengan sadar tampuk kepemimpinan kebupaten Bangkalan selama tiga priode berputar di lingkaran kelompok tertentu, Bani Fuad.

Kesan kuat yang muncul dibenak penulis yaitu kekuasaan Bangkalan menjadi bancakan (Red. Tasyakuran), menjadi warisan dari satu putra mahkota kepada putra mahkota lainnya secara bergiliran.

Bilamana mengutip pendapat Paulo Freiere tentang klasifikasi kesadaran manusia ada tiga; kesadaran Magis, Kesadaran Naif dan kesadaran Kritis. Sampai saat ini kesadaran masyarakat Bangkalan masih pada tataran kesadaran Naif; sadar bahwa Demokrasi Bangkalan hanya hayalan dan utopis. Akan tetapi, mere enggan untuk melakukan tindakan representatif dari spirit perubahan dan pembangunan Bangkalan.

Baru-baru ini Bangkalan dihebohkan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bertamu dan menyambangi Bangkalan. Kedatangan KPK ke Bangkalan untuk mengusut terkait dugaan kasus korupsi jual beli jabatan.

Dari berita yang beredar ada sekitar enam yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Bupati Bangkalan, Kapala Dinas Industri dan Ketenaga Kerjaan, Kepala Dinas PUPR, Kepala BKPSDA, Kepala DPMD dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan.

Korupsi merupakan persoalan yang sangat akut dan berbahaya bagi keberlangsungan suatu negara. Korupsi menjadi penyakit akut dan penghambat perkembangan dan kemajuan suatu negara. Birokrasi Indonesia melakukan tindakan Koruptif secara sadar dan disadari, tanpa sedikit pun merasa bersalah.

Padahal peringatan terkait hal ini sudah jelas baik secara konstitusi yang tertuang dalam UU No 30 tahun 2002, pun dalam ajaran Islam sudah jelas dan tegas menyatakan kecaman terhadap pelaku korupsi dan diancam masuk Neraka.

Ungkapan Prof. Salim Said, bahwa Indonesia tidak akan maju selama tidak ada yang ditakuti. Mengaca pada negara tetangga seperti China dan Korea Selatan maju karena ada yang ditakuti, China maju karena takut dengan China Daratan, Korena maju karena takut pada Korea Selatan.

Sedangkan Indonesia, Tuhan pun tidak ditakuti. Buktinya, para pejabat, birokrasi sudah disumpah di atas kitab suci atas nama Tuhan namun nyata-nyata semasa menjabat tidak merepresentasikan janji yang dilafalkan.

Efek buruk dari pada korupsi sebagaimana fakta sejarah yaitu runtuhnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada peralihan abad 18-19 VOC yang meruapakan perusahaan multinasional mengalami kebangkrutan yang sangat luar biasa dikarenakan perilaku korup.

Apakah Bupati Bangkalan dijerat Korupsi menjadi tanda runtuhnya Kekuasaan Kerajaan Bangkalan (Bangkalan Empire)?

Menjawab pertanyaan ini tentu beragam hipotesa. Sebagian menjawab ‘iya’ dengan dalih tidak ada putra mahkota pengganti, sebagian lagi berpendapat ‘tidak’ lantaran kekuatan dan pengaruh Ra Fuad masih sangat mengakar. Semua jawaban sah-sah saja sampai pada saatnya pergelaran Pemilihan Bupati. Ini akan menjawab masihkah Bupati muncul dari lingkaran Ra Fuad.

Selain stok putra mahkota yang kian habis, tidak menutup kemungkinan bahwa akan muncul kekuatan baru yang mampu bersaing dan mengalahkan kekuatan lama.

Flashback pada masa sejarah kerajaan Majapahit, pasca meninggalnya Raja Hayam Wuruk (1389 M) terjadi perseteruan internal antara Wikramawardana (menantu Hayam Wuruk) dan Wirabumi (Putra Hayam Wuruk dari selir).

Bak kata pepatah memancing di air yang keruh, beberapa kelompok mencoba saling manggalang kekuatan demi merebut posisi strategis di dalam kerajaan yang menambah rumit kondisi kerajaan. Pada akhirnya, kondisi ini menyulut permusuhan dalam keluarga Hayam Wuruk hingga terpecah menjadi dua; Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon.

Semakin hari situasi semakin tegang sehingga pada akhirnya memicu terjadinya perang Paregre (Perang Saudara) pada 1401-1406. Semenjak itu, Majapahit semakin melemah, pejabat tidak peduli akan nasib masyarakat dan negerinya. Mereka melakukan Korupsi dimana-mana sampai pada titik akhir kerajaan Majapahit runtuh.

Sedangkal pemikiran penulis, pasca wafatnya Ra Fuad Amin pada 2019 lalu, kondisi pemerintah Bangkalan yang diampu adiknya, Ra Latif Amin Imron mengalami perpecahan di internah pemerintah.

Mantan loyalis Ra Fuad yang dulunya setia dan tunduk penuh kepada Ra Fuad mulai berani unjuk gigi dan memanuver Ra Latif dengan berbagai macam cara untuk dapat menempati posisi setrategis di pemerintahan, atau sudah berkedudukan mapan hanya saja mereka rakus dan mengumpulkan pundi-pundi sebanyak-banyaknya sehingga lupa pada kondisi masyarakat, pembangunan dan kesejahteraan Bangkalan.

Bukti adanya penghianatan di intenral loyalis Ra Fuad yakni adanya upaya memposisikan kelompoknya pada jabatan-jabatan setrategis menggunakan cara jual beli jabatan. Barangkali di masa Majapahit pertimbangan memposisikan sesorang adala loyalitasnya, berbeda di Bangkalan yang menjadi pertimbangan adalah uang. Ada uang, posisi atau jabatan diperoleh.

Nahasnya, kita hidup di zaman modern dimana sistem telah mengatur sedemikian rupa untuk memperkecil potensi kerusakan atau kehancuran suatu negara, seperi dalan bentuk Konstitusi atau pun lembaga anti rasuah (KPK).

Kekosongan tokoh sentral di Bangkalan menjadi kehawatiran tersendiri. Pasalnya kultur masyarakat Madura kental akan adanya tokoh sentral sebagai role model dalam segala hal. Kedudukan tokoh sentral dapat mengatur dan mengontrol kehidupan sosial-politik dan sosial-keagamaan masyarakat.

Bilamana tokoh ini sudah tiada, masyarakat berhamburan dan tidak ada lagi sosok yang dapat mengontrol, terbukti pasca wafatnya Ra Fuad di Bangkalan, tingkat kejahatan kekerasan fisik (Carok) antar masyarakat semakin tinggi.

Kedepan, harus dapat lahir tokoh sentral yang ideal dan berintegritas sehingga benar-benar layak menjadi sosok panutan Masyarakat Bangkalan baik dalam bernegara atau pun beragama.

Dan kita sebagai masyarakat harus dapat mendudukkan ketokahan seseorang pada porsinya, jangan sampai terlena terhadap ketokohan sesorang yang dinilai serba benar dan mutlak benar sebagaimana upaya Nur Kholis Madjid untuk menanamkan pradigma Desakralisasi, yaitu upaya penghapusan mind-set sakralitas atau pengkultusan baik simbol, icon atau tokoh tertentu yang dinilai mewarisi sifat ketuhanan.

Peristiwa yang terjadi di Bangkalan yang hampir mirip pada masa kerajaan Majapahit, juga akankah menjadi penanda runtuhnya Bani Fuad?

Penulis pasrahkan kepada audien atau pembaca dalam memaknai runtuhnya kekuasaan Bani Fuad yang sifatnya masih angan-angan, akankah menjadikan Bangkalan lebih baik atau sebaliknya. Solusi dari pada itu adalah partisipasi masyarakat Bangkalan sebagai mitra strategis atau pun mitra kritis pemerintah dalam proses tata kelola pemerintahan Bangkalan menuju masyarakat madani, adil, makmur dan beradab.

 

Penulis: Syamsul Hadi, Pengurus Cabang PMII Bangkalan

Exit mobile version