Site icon Madurapers

Makna Dibalik Tertawa Yusril Ihza Mahendra dan Ary Yusuf Amir: Sebuah Kajian Linguistik dalam Konteks Politik

Wahyudi, konsultan ahli linguistik, alumni Magister (S2) Linguitik Universitas Sebelas Maret (UNS)

Wahyudi, konsultan ahli linguistik, alumni Magister (S2) Linguitik Universitas Sebelas Maret (UNS) (Dok. Madurapers, 2024).

Dua figur politik dan ahli hukum tata negara ternama, Yusril Ihza Mahendra dan Ary Yusuf Amir, tengah menjadi sorotan publik atas aksinya yang saling tertawa dalam konteks persiapan menghadapi gugatan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Tertawanya keduanya dianggap mencerminkan dinamika politik yang menarik perhatian banyak pihak, terutama pihak terkait Pilpres 2024. Namun, apa sebenarnya makna dibalik tertawa tersebut? Persoalan ini penting diketahui dan dijelaskan untuk menyingkap pengertian dan motif perilaku tertawa kedua belah pihak tersebut.

Perlu dipahami bahwa dalam konteks linguistik, kata “tertawa” memiliki makna yang luas. Kata tertawa dapat bermakna melahirkan rasa gembira, senang, atau bahkan mengandung unsur ejekan dan penghinaan. Dalam kasus ini, aksi tertawa Yusril Ihza Mahendra dan Ary Yusuf Amir dapat dianalisis dari dua sudut pandang yang berbeda.

Pertama, Yusril Ihza Mahendra, Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tertawa sebagai tanggapan terhadap rencana pihak lawan, Tim Hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), yang mengklaim akan mengerahkan 1.000 pengacara untuk menggugat hasil Pilpres di MK.

Yusril menganggap hal ini tidak realistis karena ruang sidang MK tidak mampu menampung jumlah pengacara sebanyak itu. Tertawanya Yusril bisa dimaknai sebagai ekspresi ketidakyakinan atas klaim lawan politiknya, bahkan mungkin sebagai bentuk penghinaan atau ejekan terhadap keputusan tersebut.

Kedua, Ary Yusuf Amir, Ketua Tim Hukum AMIN, memberikan tanggapan terhadap tertawa Yusril dengan juga tertawa. Dia menjelaskan bahwa meskipun pihaknya memiliki ribuan (1.000) pengacara yang siap menghadapi gugatan, ia sadar akan keterbatasan ruang sidang MK.

Tertawanya Ary Yusuf Amir bisa dimaknai sebagai sikap santai atau bahkan pengakuan atas keterbatasan yang ada, tanpa merasa terintimidasi oleh tertawanya lawan politiknya.

Dalam konteks politik yang lagi panas menjelang persidangan di MK, perilaku tertawa keduanya bisa dianggap kurang mendidik dan tidak pantas dicontoh oleh publik.

Hal ini karena, tertawa, yang seharusnya menjadi ekspresi kegembiraan atau kebahagiaan, dalam konteks ini dapat diartikan sebagai upaya untuk merendahkan atau bahkan menganggap remeh pihak lawan politiknya.

Sikap seperti ini tidaklah baik dan ideal dalam sebuah kompetisi politik yang demokratis, yang seharusnya diwarnai oleh sikap saling menghormati dan menghargai.

Menanggapi fenomena ini, masyarakat diharapkan dapat menilai tindakan dan pernyataan kuasa hukum tersebut dengan bijak, tanpa terjebak dalam polarisasi atau emosi sesaat. Kedewasaan politik akan tercermin dalam sikap dan perilaku para pemimpin, baik dalam kemenangan maupun kekalahan.

Tertawanya Yusril Ihza Mahendra dan Ary Yusuf Amir, dalam konteks ini, menjadi refleksi bagi kita semua akan pentingnya mengedepankan etika dan sikap yang santun dalam politik atau beracara di MK.

Dengan demikian, jadi makna dibalik tertawa Yusril Ihza Mahendra dan Ary Yusuf Amir menjadi sebuah bahan kajian yang menarik dalam konteks linguistik politik. Tertawanya keduanya bukan hanya sekadar ungkapan kegembiraan, tapi mencerminkan dinamika persaingan politik yang penuh dengan taktik dan strategi.

Bagaimanapun, di tengah riuhnya politik Pilpres tahun 2024, penting untuk tetap mengedepankan etika dan moralitas demi terciptanya suasana politik yang tentram, sehat dan produktif bagi kemajuan negara dan bangsa Indonesia.

 

Wahyudi, penulis adalah peneliti Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) dan konsultan ahli linguistik, alumni Magister (S2) Linguitik, Universitas Sebelas Maret (UNS).

Exit mobile version