Opini  

Lex, Rex: Raja Bukanlah Hukum, Hukum adalah Raja

Foto penulis/Hanif Muslim

NEGARA Hukum menempatkan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadir rasa keadilan, memberikan kebermanfaatan dan memberikan kepastian pada semua. (Anies Rasyid Baswedan)

Sejatinya, kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia yang terjajah. Hukum awal yang kita miliki adalah hukum untuk menindas, mengeruk keuntungan, dan memenuhi hasrat kepentingan Belanda.

Sedang setelah merdeka pun hukum segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde Baru lebih kentara lagi bahwa hukum tidak lebih dari sekadar keset bagi penguasa, sebagai kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status quo. Hukum hadir hanya untuk memuaskan nafsu kemaruk para penguasa. Demikian sejarah hukum kita adalah sejarah hukum pelestarian mentalitas budak secara sistematis.

Kita tidak bisa menolak kenyataan sejarah ini. Kenyataan bahwa Indonesia adalah serangkaian wilayah kolonial yang pernah dimiliki dan diatur oleh Belanda dan hukum Belanda. Sementara, Belanda sendiri memang sedari awal adalah negara monarki konstitusional baik dalam urusan kenegaraan maupun luar negeri.

Jadi, meskipun demokrasi di Indonesia didasarkan pada hukum tertulis (Civil law) yakni, hukum berbasis warga negara. Residu keterjajahan dan mentalitas eksploitatif akan selalu ada. Kepentingan orang-orang kaya, dan para elite yang ada di antara kita tidak akan menghilang. Tidak peduli seberapa besar kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat Indonesia di beberapa bidang, kepentingan itu akan terus meningkat.

Berbicara tentang masa depan Hukum, sekarang mari sejenak kita flasback pada gagasan salah satu capres pada debat pertama yang digelar KPU. Salah satu kritik dan ide menarik saya kira adalah “Menempatkan Hukum di atas kekuasaan” Yang diucapkan pada kalimat pembuka Anies Baswedan.

error:

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca