AGAMA ISLAM ialah agama yang menjunjung tinggi nilai religiusitas dan ketakwaan. Jelas dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. Orang yang kontinu dengan ibadah wajib dan sunah, akan naik derajatnya dan dipilih menjadi kekasih Allah; waliyullah. Para kekasih Allah ini dilimpahkan rahmat dan anugerah melimpah yang tidak dimiliki oleh hamba-nya yang lain, salah satunya adalah karamah. Apa itu karamah?
Tentang definisi Karamah, Imam al-Jurjani membeberkannya dalam at-Ta’rifat:
الكرامة هي ظهور أمر خارق للعادة من قبل شخص غير مقارن لدعوى النبوة و ما يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح فما لا يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح يكون استدراجا
“Karamah adalah perkara di luar adat yang terjadi pada seseorang tanpa adanya pengakuan kenabian yang dibarengi iman dan amal saleh. Jika tidak disertai dengan iman dan amal saleh, maka namanya adalah istidraj”.
Secara historis, banyak sekali data tentang eksistensi karamah dalam diri seorang waliyullah, bahkan sebagian Ulama ada yang membahas khusus dalam satu kitab tertentu. Karamah penting dan diperlukan sebagai tanda bahwa seseorang merupakan hamba pilihan dan bisa dijadikan rujukan dalam kehidupan beragama.
Dalam konteks Indonesia, akan jamak ditemukan kisah-kisah karamah para ulama yang fantastis dan membelalakkan mata orang awam akan betapa luhurnya derajat seorang waliyullah. Namun, dalam perkembangannya keberadaan karamah dijadikan barometer untuk mengukur kemuliaan seorang kekasih Allah. Sebagian – yang didominasi orang awam – mengira bahwa kemuliaan seorang waliyullah diukur dari banyaknya karamah yang dimilikinya. Perkiraan ini tidak salah namun juga tidak benar, karena barometer kemuliaan bukan hanya ada pada karamah.
Persepsi seperti diatas akan membutakan pada hal lain dari seorang waliyullah, seperti keilmuan dan akhlaknya. Waliyullah hanya akan dipandang dari kehebatan karamahnya, tidak pada kehebatan ilmunya. Inilah yang disebut dengan overthinking karamah, yaitu ketika karamah menjadi objek prioritas dalam menilai seorang hingga abai pada luasnya ilmu yang dimilikinya.
Sebetulnya, jika diukur dari kemuliaan dan kedekatan kepada Allah, orang yang berilmulah yang paling tinggi nilainya. Ilmu pengetahuan dari seorang waliyullah lebih tinggi nilainya daripada hanya sekedar karamahnya. Karamah yang terdapat dalam diri seorang waliyullah hanya akan dinikmati oleh dirinya sendiri, berbeda dengan ilmu yang diamalkan dan disebarkannya. Ilmu yang diajarkan oleh seorang waliyullah akan sangat bermanfaat dan menjadi amal jariyah yang tidak akan terputus sampai kapanpun. Dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa, “Kebaikan yang berjalan, menurut ulama lebih baik dari kebaikan yang terbatas”.
Syaikh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam Al-Ajwibah Al-Murdhiyah juga menyinggung hal ini.
إعلم أن ما يفتح الله تعالى به على قلوب الفقهاء من استنباط المسائل أعظم نفعا مما يفتح الله به على الأولياء من الكرامات و الخوارق لأن نفع الكرامات قاصر و نفع الاستنباطات متعد إلى الأمة
“Ketahuilah bahwa ilmu yang Allah berikan kepada para Fuqoha’ dari hasil Istinbat (penelusuran hukum) itu lebih besar manfaatnya dari Karomah dan keajaiban yang Allah berikan kepada para Awliya-Nya. Karena manfaat karomah itu terbatas, sedangkan manfaat ilmu itu sampai kepada ummat “
Syekh Fariduddun Al-Atthar menyebutkan kisah unik antara sang maestro sufi, Imam Hasan al-Bashri dengan Rabi’ah al-Adawiyah dalam kitab Tadzkiratul Auliya’ . Suatu saat Rabi’ah al-Adawiyah terhenti saat lewat depan rumahnya Hasan al-Bashri lantaran tetesan air yang mengenainya. Awalnya air tersebut adalah air hujan, namun saat menoleh keatas ternyata air tersebut berasal dari air matanya Hasan al-Bashri. Rabi’ah berkata, “Wahai Syaikh, tahanlah air mata itu dalam dirimu sehingga menjadi lautan. Engkau tidak akan menemukan jati dirimu kecuali mencarinya kepada sang Raja yang maha perkasa”.
Hasan al-Bashri hanya diam tanpa jawaban. Air mata yang mengalir karena renungan mendalam padanya yang tak mampu dia bendung. Spontan, Hasan al-Bashri mengambil sajadah dan meletakkannya terapung diatas air. Beliau berkata, “Kemarilah Rabi’ah, kita salat dua rakaat”.
Rabi’ah al-Adawiyah yang juga seorang sufi dengan ajaran mahabbahnya meresponnya dengan menampakkan karamah. Beliau membuka sajadahnya dan menerbangkan di udara sembari berkata, “Kemarilah wahai Syaikh, Kita salat diatas udara saja biar orang-orang melihat karamah kita”. Tanpa jawaban lagi, Hasan al-Bashri hanya termenung dan tertegun merasa ada yang perlu diperbaiki dalam laku sufinya.
Rabi’ah melanjutkan, “Wahai Syaikh, apa yang engkau lakukan itu bisa dilakukan oleh ikan, dan yang saya lakukan bisa dilakukan oleh lalat. Fokus kita sebenarnya ialah bersungguh-sungguh dalam amalan kita”.
Akhiron, karamah memang suatu kelebihan yang Allah anugerahkan pada hamba-hamba pilihannya yang tidak semua orang mendapatkannya. Karamah harus diletakan dalam koridornya sebagai salah satu anugerah tanpa mengesampingkan anugerah lain yaitu ilmu yang sebenarnya lebih penting untuk diurai. Kenapa? Karena eksistensi agama Islam dikawal oleh ilmul ulama’, bukan karamatul auliya’.
***Hozinul Asror, Santri Pondok Pesantren Miftahul Ulum Panyeppen Palengaan Pamekasan, Sarjana Ekonomi di IAI-MU Pamekasan.