Bangkalan – Di tengah khidmatnya bulan suci Ramadhan, masyarakat di Indonesia dihebohkan dengan fenomena baru yang disebut sebagai “Perang Sarung”. Istilah ini mulai viral dan mencuat ke permukaan, mengundang perhatian dari berbagai kalangan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan perang sarung ini?
Untuk memahami lebih dalam, awak Madurapers mengumpulkan data dari seorang ahli linguistik, Wahyudi, Magister Linguistik dari Universitas Sebelas Maret (UNS). Menurutnya, secara etimologi, kata “perang” memiliki makna perkelahian, konflik, permusuhan atau pertempuran antara dua pihak atau lebih, baik itu negara, bangsa, suku, atau kelompok. Sementara itu, kata “sarung” merujuk kepada kain yang digunakan sebagai selongsong, pembungkus, atau bahkan sebagai pakaian sehari-hari.
Dengan demikian, perang sarung dapat diartikan sebagai perkelahian atau konflik antarindividu atau kelompok yang menggunakan sarung sebagai alatnya. Namun, dalam konteks yang lebih spesifik, perang sarung merujuk pada jenis tawuran yang menggunakan kain sarung yang diikat pada ujungnya dan diisi dengan benda-benda keras seperti batu, gir motor, atau bahkan senjata tajam.
Wahyudi menjelaskan bahwa perang sarung tadinya merupakan permainan. Permainan ini umumnya dilakukan para remaja pada bulan Ramadhan, di mana para pemain saling memukul menggunakan sarung ke tubuh lawan secara bergantian.
Saat seorang pemain memukul, pemain lainnya harus berusaha menangkis dengan sarungnya sendiri. Permainan berakhir ketika salah satu pemain menyerah atau sarungnya terjatuh. Penting untuk dicatat bahwa setiap pihak harus menghentikan permainan jika lawan telah menyerah.
Namun, Wahyudi menekankan bahwa permainan ini sangat berbahaya dan tidak boleh dilakukan. Ia mengimbau kepada aparat kepolisian dan masyarakat untuk mencegah dan menindak pelaku perang sarung ini. Dampak dari permainan ini bisa sangat serius, dengan risiko cedera fisik yang tinggi bagi para pemainnya.
Perlu adanya kesadaran bersama bahwa perang sarung bukanlah tradisi yang patut dilestarikan atau dipromosikan. Selain melanggar norma-norma sosial dan agama, permainan ini juga membahayakan keselamatan dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.
Oleh karena itu, kata dia, perlu langkah konkret dari berbagai pihak terkait di masyarakat untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman kepada para remaja atau kalangan terkait lain di masyarakat tentang bahaya perang sarung ini.
Selain itu, perlu ada penegakan hukum yang tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam permainan ini. Hukuman yang lebih berat dan efektif harus diberlakukan sebagai bentuk penekanan terhadap perilaku yang merugikan ini.
Selain itu, pendekatan preventif juga sangat penting, dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang lebih positif dan bermanfaat bagi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja yang rentan terpengaruh oleh fenomena seperti perang sarung ini.
Dengan demikian, ajak Wahyudi, “Mari bersama-sama kita jaga keamanan dan kesejahteraan bersama dengan menghindari dan menolak segala bentuk tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Perang sarung bukanlah permainan yang baik, melainkan hanya akan menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi semua pihak yang terlibat.”