Site icon Madurapers

Politik Anggaran dan Dominasi Belanja Pegawai: Potret Kekuasaan Elite Lokal di Bangkalan

Abdul Mukhlis, Pemerhati Sosial, Politik dan Kebijakan Publik, Alumni Magister Ilmu Politik dengan Minat Studi Analisis Politik di Universitas Airlangga, Surabaya

Abdul Mukhlis, Pemerhati Sosial, Politik dan Kebijakan Publik, Alumni Magister Ilmu Politik dengan Minat Studi Analisis Politik di Universitas Airlangga, Surabaya (Dok. Madurapers, 2025).

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semestinya menjadi instrumen utama untuk pembangunan dan pemenuhan hak dasar warga. Namun di banyak daerah, termasuk Kabupaten Bangkalan, struktur belanja justru mencerminkan arah berbeda.

Data dari Madurapers (16/04/2024) menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2025, belanja pegawai di Bangkalan menelan lebih dari 40 persen total APBD—sekitar Rp1,81 triliun dari Rp2,66 triliun. Ketimpangan ini bukan semata persoalan teknis anggaran, tetapi mencerminkan politik anggaran yang lebih berpihak pada elite birokrasi ketimbang kepentingan publik.

 

Loyalitas Birokrasi dan Kuasa Politik

Dominasi belanja pegawai erat kaitannya dengan upaya elite lokal mempertahankan kekuasaan. Alokasi anggaran besar untuk pegawai memungkinkan kepala daerah memastikan dukungan birokrasi terhadap agenda politik mereka, terutama menjelang tahun-tahun elektoral.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana APBD kerap dijadikan alat politik. Data Kementerian Keuangan (DJPK, 2023) menunjukkan bahwa daerah dengan porsi belanja pegawai tinggi cenderung mengabaikan belanja publik produktif. Celah ini membuka ruang patronase, di mana jabatan dan proyek birokrasi dijadikan komoditas untuk mempertahankan loyalitas politik.

Banyak program dan pengadaan dalam APBD tidak berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, melainkan pada aktivitas birokratis yang menguntungkan elite. Alhasil, anggaran yang seharusnya memperluas layanan publik, malah terserap untuk mempertahankan sirkulasi kekuasaan yang elitis.

 

Kinerja Semu dan Citra Palsu

Besarnya belanja aparatur juga membuka ruang bagi pencitraan administratif. Melalui laporan yang diformat rapi, agenda seremonial, dan publikasi kegiatan, pemerintah daerah tampak seolah berhasil—padahal manfaatnya minim bagi warga.

Laporan Bank Dunia (2022) mencatat bahwa dalam sistem birokrasi tertutup, indikator kinerja kerap bersifat artifisial. Hal ini juga terjadi di Bangkalan. Meski alokasi belanja pendidikan dan kepegawaian cukup tinggi, realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan. Di Kecamatan Klampis dan Kokop, banyak sekolah dasar mengalami kerusakan parah, kekurangan guru, serta fasilitas sanitasi tak layak.

Hal serupa terlihat pada infrastruktur jalan di wilayah pedesaan seperti Tanah Merah. Jalan-jalan desa hanya diperbaiki tambal sulam menjelang pemilu. Di luar momentum politik, masyarakat tetap harus menghadapi akses ekonomi yang terbatas dan layanan publik yang minim.

 

Ketimpangan Anggaran dan Sosial

Struktur anggaran yang berat sebelah berdampak langsung pada keterlambatan pembangunan infrastruktur dasar, stagnasi layanan pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya daya saing ekonomi lokal. Ketika belanja publik dikecilkan, peluang masyarakat keluar dari kemiskinan pun makin menyempit.

Kondisi ini melanggengkan ketergantungan warga pada elite birokrasi. Tidak hanya memperkuat politik transaksional, tetapi juga menciptakan ruang gelap bagi penyimpangan anggaran. Dana honorarium, kegiatan perjalanan dinas, dan program fiktif kerap lolos tanpa pengawasan yang memadai.

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tahun 2024 mencatat bahwa lemahnya pengawasan, ketidakpatuhan terhadap prinsip efisiensi, serta tindak lanjut temuan yang lemah masih menjadi persoalan struktural di banyak daerah, termasuk Bangkalan. Ini menjadi cermin bahwa kekuasaan anggaran masih sangat rentan dimonopoli elite.

 

Menuju Politik Anggaran yang Demokratis

Situasi ini mendesak adanya reformasi menyeluruh dalam pengelolaan APBD. Prioritas belanja harus dialihkan dari aparatur ke sektor produktif yang berdampak langsung ke masyarakat. Transparansi anggaran, pelibatan warga dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), serta audit terbuka harus dijadikan standar.

Lebih jauh, pengawasan publik harus diperkuat. Peran masyarakat sipil, media lokal, dan lembaga pengawas independen menjadi kunci agar politik anggaran tidak lagi menjadi alat rente kekuasaan, tetapi benar-benar menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas hidup warga.

Tanpa reformasi politik anggaran, demokrasi lokal hanya akan menjadi kemasan formal tanpa isi. Anggaran publik harus dikembalikan kepada publik—bukan dikuasai segelintir elite birokrasi.

 

Abdul Mukhlis, Pemerhati Sosial, Politik dan Kebijakan Publik, Alumni Magister Ilmu Politik dengan Minat Studi Analisis Politik di Universitas Airlangga, Surabaya.

Exit mobile version