Site icon Madurapers

Potret Perilaku Berbahasa Orang Madura

PENASEHAT LSPD

Mohammad Fauzi, Dewan Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD).

Bahasa Madura (Bhâsa Madhurâ) merupakan rumpun bahasa Astronesia (bahasa kepulauan). Menurut data statistik BPS RI (2010) jumlah penuturnya di Indonesia mencapai 7.743.533 orang (3,62%) dan menempati peringkat ke-5 setelah Bahasa Melayu. Bahasa ini dipakai sehari-hari di rumah oleh orang Madura tidak hanya di Provinsi Jawa Timur tetapi di seluruh provinsi perantauan orang Madura di Indonesia.

Dialek Bahasa Madura terdiri dari dialek Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Kangean. Perbedaan keempat dialek tersebut terletak pada pemakaian kata (leksikon) dan pengucapan (terutama prosodi dan intonasi), seperti di Bangkalan kata lo’ (tidak) dan kakè (kamu) di Pamekasan, Sumenep, dan Kangean lazim dipakai kata ta’ (tidak) dan bâ’na (kamu) (Wibisono dkk, 2001).

Tingkat pemakaian tutur Bahasa Madura terdiri dari tingkat tutur enjâ’-iyâ, tingkat tutur èngghi-enten, dan tingkat tutur èngghi-bhunten.  Menurut Soegianto (1990) tingkat pemakaian tutur Bahasa Madura tersebut dikelompokkan ke dalam bhâsa alos (bahasa halus) dan bhâsa kasar (bahasa kasar) (Wibisono dan Sofyan, 2008).

Dalam komunikasi pergaulan sehari-hari bahasa yang digunakan etnis Madura ada tiga bahasa, yakni Bahasa Madura, Indonesia, dan Jawa (Wibisono dan Sofyan, 2008; Wikipedia, 2021). Perilaku berbahasa orang Madura, dalam konteks etnis Madura di Jember, menurut Bambang Wibisono dan Akhmad Sofyan (2008) dengan mitra tutur sesama etnis menggunakan Bahasa Madura, dengan mitra tutur etnis Jawa menggunakan Bahasa Jawa, dan dengan mitra tutur etnis non Jawa menggunakan Bahasa Indonesia.

Komunikasi orang Madura dengan mitra tutur etnis Madura menggunakan tingkat tutur enjâ’-iyâ (bhâsa kasar), èngghi-enten (bhâsa alos), dan èngghi-bhunten (bhâsa alos). Tingkat tutur enjâ’-iyâ digunakan ketika mengobrol dengan teman dan tetangga sebaya. Tingkat tutur èngghi-enten digunakan ketika mengobrol dengan ibu, saudara, pendamping hidup, tetangga yang akrab, umur sebaya/lebih muda, dan status sosialnya sama/lebih rendah. Tingkat tutur èngghi-bhunten digunakan ketika mengobrol dengan bapak dan orang yang lebih tua.

Komunikasi orang Madura dengan mitra tutur etnis Jawa menggunakan Bahasa Jawa, umumnya Bahasa Jawa ragam ngoko. Komunikasi dengan mitra tutur etnis non etnis Madura dan Jawa menggunakan Bahasa Indonesia.

Di Pulau Madura kontemporer/terkini, perilaku berbahasa generasi muda Madura di tingkat/wilayah publik ada kecenderungan menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa campuran (Bahasa Madura, Indonesia, dan Jawa). Bahasa Madura, baik tingkat tutur enjâ’-iyâ, èngghi-enten, maupun èngghi-bhunten, umumnya hanya digunakan di internal keluarga dan publik ketika berkomunikasi dengan bapak, ibu, kerabat dekat, orang yang lebih muda/sejajar/tua/terhormat asli etnis Madura.

Bahasa Indonesia dan campuran digunakan ketika berada di lembaga formal, berceramah dan berdiskusi, dan berkomunikasi dengan pejabat/pegawai pemerintah/swasta, guru/dosen dan teman di sekolah/perguruan tinggi, teman di luar sekolah/perguruan tinggi, dan orang non etnis Madura.

Dengan demikian, perilaku berbahasa orang Madura cenderung memilih kode bahasa yang digunakan mitra tuturnya. Artinya, bahasa tutur yang digunakan orang Madura cenderung menyesuaikan dengan penggunaan kode bahasa mitra tuturnya.

Dalam konteks vitalitas (kemampuan bertahan hidup) bahasa, perilaku berbahasa demikian berpotensi menggerus vitalitas Bahasa Madura. Namun, menurut hasil penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) status penggunaan Bahasa Madura masih aman dari ancaman kepunahan karena masih dipakai di rumah oleh semua orang Madura di seluruh provinsi di Indonesia.

Berbeda dengan hasil penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) di era terkini menurut Bambang Wibisono dan Akhmad Sofyan (2008) penutur Bahasa Madura potensial terancam tergerus. Hal ini karena kurang pedulinya generasi muda terhadap bahasanya. Ketidakpedulian itu bukan karena generasi muda tidak mau berbahasa Madura tetapi karena disebabkan oleh berbagai faktor.

Faktor tersebut adalah: (1) generasi muda Madura suka merantau sehingga lebih mengutamakan menggunakan bahasa Indonesia, (2) pembelajaran Bahasa Madura di sekolah (SD-SMA) kurang/tidak efektif karena guru pengajarnya mayoritas bukan lulusan Pendidikan Bahasa/Sastra Madura, dan (3) tidak adanya Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa/Sastra Madura di Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS) di Madura, bahkan di seluruh Indonesia.

Mencermati fenomena ini tampaknya berbagai kalangan terkait yang kompeten harus mencarikan solusinya agar Bahasa Madura aman dari ancaman kepunahan dan punah. Hal ini sangat vital karena Bahasa Madura dalam konteks lokal Madura merupakan simbol, lambang, dan penyanggah budaya Madura dan dalam konteks nasional merupakan salah satu penyanggah/pendukung budaya dan bahasa nasional.

Exit mobile version