Jakarta – Taufik Basari, Anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi Partai NasDem berharap diskusi dan pembahasan RUU Perampasan Aset berdasarkan pada perdebatan hukum, bukan perdebatan politis atau bersandar pada isu populer ataupun emosional, Senin (8/5/2023).
Menurutnya, selama ini, narasi yang terbangun adalah seolah DPR menghambat atau menolaknya, sementara kenyataannya naskah RUU tersebut masih ada di pemerintah dan baru menyerahkan ke DPR beberapa hari ini.
“Saya khawatir perdebatan hukum yang terjadi malah dipolitisasi kembali seolah-olah perdebatan yang nantinya terjadi karena ada penolakan. Padahal, semata hal tersebut adalah perdebatan hukum untuk memastikan UU tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum,” tutur Taufik dalam Parlementaria, Minggu (7/5/2023).
Pemerintah sudah mengirim Surat Presiden berikut naskah RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana kepada DPR pada Kamis (4/5/2023).
Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) menjadi wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Perampasan Aset bersama DPR.
Komisi III DPR-RI berharap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana fokus pada perdebatan hukum, bukan perdebatan politis.
Dia menilai perlu hati-hati dalam pembahasan RUU tersebut, agar tidak melanggar proses hukum yang adil, peradilan yang jujur dan adil, dan asas praduga tidak bersalah.
Taufik mengaku, belum mengetahui substansi dari naskah RUU Perampasan Aset. Selama ini, katanya, yang menjadi diskursus terkait isu hukum perampasan aset adalah pada pengaturan mekanisme hukum perampasan asetnya.
Yang akan jadi perdebatan hukum, kata dia, adalah RUU itu nantinya akan menerapkan non-conviction based asset forfeiture (NCB-AF) atau perampasan aset tanpa tuntutan pidana atau tidak.
Taufik menegaskan, perdebatan itu bukan berarti penolakan terhadap NCB-AF mendukung kejahatan korupsi dan tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Namun, hal itu terkait persoalan prinsip hukum dan hak asasi manusia tentang jaminan terhadap proses hukum yang sesuai prinsip peradilan yang jujur dan adil, serta asas praduga tak bersalah.
“Apabila diterapkan, maka selain berpotensi melanggar prinsip-prinsip hukum ini juga jika tidak hati-hati dapat membuka kesempatan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum ataupun dengan alasan politis,” tutur Taufik.
Untuk mengatasi hal itu, kata Taufik, RUU Perampasan Aset harus secara ketat mengatur dan memastikan agar jaminan terhadap proses hukum dan peradilan yang jujur dan adil menjadi dasarnya.
Selain itu, RUU juga harus mengatur mekanisme pengujian (challenge) atas tindakan perampasan aset yang sewenang-wenang atau jika terdapat kesalahan untuk melindungi orang yang tidak bersalah.