Site icon Madurapers

Sebagai Anggota DPR, Rieke Punya Hak Menyatakan Pendapat

Ahmad Mudabir adalah praktisi hukum berasal dari Jawa Timur, pengulas kasus pernyataan Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, yang berujung pada pemanggilan oleh MKD DPR RI

Ahmad Mudabir adalah praktisi hukum berasal dari Jawa Timur, pengulas kasus pernyataan Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, yang berujung pada pemanggilan oleh MKD DPR RI (Dok. Madurapers, 2025).

Surabaya – Dalam perbincangan publik mengenai hak anggota DPR untuk menyampaikan pendapat, kasus yang melibatkan Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menjadi sorotan utama publik akhir-akhir ini, Kamis (02/01/2025).

Rieke dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI karena aduan Alfadjri Aditia Prayoga, pada Jumat (20/12/2024), terkait unggahannya di media sosial yang mengkritik pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

Unggahan tersebut dianggap oleh Alfadjri Aditia Prayoga sebagai bentuk provokasi terhadap kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif PPN 12%.

Karena alasan DPR RI masih dalam masa reses, dimana Rieke masih berada di daerah pemilihannya, MKD menunda sidang permintaan klarifikasi pada Rieke tersebut pada sekitar awal Januari 2025.

Ahmad Mudabir, seorang praktisi hukum dari Jawa Timur, menyatakan bahwa hak anggota DPR untuk menyampaikan pendapat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam Pasal 80 UU MD3, anggota DPR memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, baik di dalam maupun di luar sidang resmi, sepanjang pendapat tersebut tidak melanggar kode etik DPR atau hukum yang berlaku.

Mudabir menjelaskan, bahwa fungsi anggota DPR itu meliputi legislasi, pengawasan, dan anggaran. “Hak untuk menyampaikan pendapat, termasuk melalui media sosial, merupakan bagian dari pengawasan terhadap kebijakan publik. Namun, ini harus dilakukan dengan tetap mematuhi etika dan norma hukum,” ujarnya.

MKD DPR RI, sebagai lembaga yang bertugas menjaga kehormatan dan martabat DPR, memiliki kewenangan untuk memanggil anggota yang dianggap melanggar kode etik.

Dalam kasus Rieke, MKD ingin mengklarifikasi apakah pernyataan Rieke tersebut dianggap melampaui batas atau masih dalam ranah kritik konstruktif, sesuai dengan regulasi.

Namun, bagi Rieke Diah Pitaloka, berdasarkan informasi dari berbagai media, pernyataan kritiknya terkait kenaikan PPN merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.

“Tentu, dia sebagai anggota DPR berhak menyuarakan keresahan masyarakat, terutama terkait kebijakan yang memengaruhi ekonomi rakyat kecil,” ungkap Mudabir lebih lanjut.

Namun, dalam penyampaian pendapat melalui media sosial tersebut harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan keresahan yang berlebihan di masyarakat, sehingga bisa berakibat pada pelanggaran kode etik.

Kasus ini, kata Mudabir, bisa menjadi tantangan dalam menyeimbangkan hak konstitusional anggota DPR dengan kewajiban menjaga kehormatan institusi. Ia menekankan bahwa penegakan etika harus dilakukan secara adil dan transparan.

“Tidak boleh ada pandangan bahwa hak menyatakan pendapat dibatasi secara sepihak, tetapi anggota DPR juga harus memahami batasan yang telah diatur dalam UU dan kode etik,” jelasnya.

Keputusan MKD terhadap kasus ini akan menjadi preseden penting dalam menentukan sejauh mana anggota DPR dapat menggunakan platform digital untuk menyampaikan pendapatnya tanpa melanggar etika atau hukum.

Exit mobile version