Site icon Madurapers

Wisata Halal dan Jebakannya

Amir Hamzah, Penulis

Tahun 2021 adalah tahun bersejarah bagi rakyat Indonesia, khususnya pecinta otomotif roda dua. Hal ini karena Indonesia berhasil menggelar balap motor paling prestisius, mulai dari ajang World Super Bike dan segera menyusul MotoGP.

Prestasi ini tentu berkat semangat bangsa Indonesia dan penyelenggara event bergengsi tersebut, yaitu International Street Circuit Pertamina Mandalika Lombok Nusa Tenggara Barat, dimana Indonesia untuk pertama kalinya bisa menghelat kembali ajang balap motor profesional sejak era Orde Baru, tepatnya tahun 1997 di Sentul International Circuit.

Keberhasilan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam menggelar MotoGP, tentu akan mendongkrak pariwisata pulau tersebut. Hal ini karena even ini akan didatangi oleh sejumlah penggemar dari seantero jagad dan akan disaksikan oleh seluruh dunia.

Secara tidak langsung event ini akan membantu mempromosikan Indonesia di kancah internasional dan memperkenalkan potensi-potensi yang ada. Salah satunya adalah pariwisata. Sehingga tidak berlebihan, jika negeri ini diabadikan dalam sebuah lagu “Rayuan Pulau Kelapa”.

Berbicara tentang “pariwisata” tentu tidak bisa dilepaskan dengan industri. Sebab semakin menjamurnya bisnis ini di beberapa daerah banyak ditemui travel yang menyediakan fasilitas tour wisata, mulai dari trasnportasi darat, laut udara dari lintas lokal hingga mancanegara dengan harga bersaing.

Bahkan, terkadang ada yang menyediakan umroh dan bonus trip ke Turki atau dalam skala lokal, misalnya seperti berbasis religi dalam bentuk tour Wali Songo dan sejenisnya.

Jika berkaca pada letak geografisnya—yang diapit oleh dua benua dan samudera, yaitu Asia dan Australia serta Pasifik dan Hindia—Indonesia memiliki nilai lebih yang wajib dimaksimalkan.

Seyampang dengan itu, Indonesia juga negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki potensi wisata yang berbeda-beda di setiap wilayahnya, sehingga akan menjadi pendongkrak perekonomian masyarakat setempat. Dalam hal ini, tentu perlu pengelolaan dan infrastruktur yang memadai dan mendukung dengan sumber daya manusia yang kompeten.

Perkembangan Industri Pariwisata di Indonesia dalam satu dekade terakhir memang mengalami trend positif (tentunya sebelum pandemi COVID-19). Hal ini disebabkan karena banyaknya daerah-daerah yang mulai sadar dan mengembangkan potensi wisatanya.

Ditambah lagi dengan menjamurnya sosial media lengkap dengan Hashtag Wonderful Indonesia, semakin membantu promosi wisata yang berada di daerah. Apalagi pada kurun waktu 2020-2021 Indonesia sedang gencar-gencarnya membangun wisata halal.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia punya modal besar dalam mengembangkan wisata halal. Ditambah lagi dengan banyaknya destinasi wisata di daerah-daerah—mulai dari Sabang hingga Merauke—sudah menjadi mafhum bahwa masyarakat Indonesia sangat gemar travelling atau sekedar nge-Flog untuk mempromosikan tempat wisata baru sekaligus menambah followers atau subscribers.

Menurut Global Muslim Travel Index (GMTI), sejak tahun 2015 Indonesia mengalami peningkatan dari ranking 6 di tahun 2015, ranking 4 di tahun 2016, ranking 3 di tahun 2017, dan ranking 2 pada kurun waktu 2019 hingga awal 2020. Capaian ini mengalahkan Malaysia sebelum pandemi COVID-19.

Tentu dengan capaian ini akan sangat berpotensi, jika mengembangkan wisata halal ditambah saat ini Indonesia mempunyai sirkuit baru berlevel Internasional. Namun, terlepas dari itu semua, sayangnya masih banyak masyarakat yang masih belum memahami konsep wisata halal.

Istilah wisata halal baru dikenal sejak 2015, ketika ada sebuah event bertema “World Halal Tourism Summit (WHTS)” digelar di Abu Dhabi Uni Emirat Arab. Tren wisata halal mulai berkembang seiring meningkatnya populasi Muslim dunia. Tren ini juga dilirik oleh Indonesia tentunya dengan berbagai kajian dan pertimbangan.

Dalam perspektif Islam, halal adalah sebuah perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila dilanggar akan mendapat dosa. Apabila disandingkan dengan wisata maka akan membentuk frasa baru dengan terminologi baru.

Hal ini karena kata halal dan wisata belum muncul dalam kurun waktu yang lama, mengingat istilah ini masih baru, sehingga terkadang menimbulkan bias, bahkan menimbulkan keterjebakan makna dari istilah wisata halal.

Di Indonesia banyak yang beranggapan bahwa wisata halal adalah melarang semua produk non halal untuk diperjualbelikan. Padahal, asumsi ini tidak benar. Dalam sistem jaminan halal HAS 23000, yang mengatur mengenai sertifikasi halal produk, untuk menjamin kenyamanan toleransi di Indonesia, produk non halal yang diperjualbelikan diwajibkan diberi keterangan label “Non Halal” atau “Produk Mengandung Babi”.

Tentunya penjualan produk tersebut, bukan ditujukan untuk umat Islam melainkan untuk masyarakat lain yang mengonsumsinya karena negara Indonesia adalah negara multikultural, multietnis, dan multiagama yang dipersatukan oleh Pancasila.

Pada 2021 lalu ada sebuah insiden kematian seekor anjing di Aceh yang diberi nama Canon. Anjing itu diusir paksa oleh petugas Satpol-PP karena pada kawasan yang ditempati oleh anjing tersebut akan dijadikan wisata halal.

Sontak kejadian ini menjadi viral di media sosial seperti Twitter dan menjadi trending. Sehingga melalui kejadian ini seharusnya masyarakat lebih berhati-hati dalam memaknai konsep wisata halal, bukan malah mengorbankan sesuatu yang di luar konteks halal dalam perspesktif Islam.

Menurut Fatwa MUI Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 ayat ke-2 (dua) wisata halal adalah wisata yang sesuai dengan prinsip Syariah (Syariat Islam). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa wisata halal bukan harus meniadakan seluruh hal-hal yang non halal, melainkan harus disesuaikan dengan prinsip Syariat Islam.

Artinya, semua sarana dan prasananya sesuai dengan prinsip Islam, seperti fasilitas kamar hotel yang hanya boleh untuk pasangan sah suami-istri, makanan dan minuman yang terjamin kehalalannya, tempat spot foto yang hanya diperbolehkan bagi keluarga atau muhrim pengunjung, bukan malah menghabiskan semua yang non halal.

Dalam Islam ada sebuah misi agung yang berbunyi “rahmatan lil alamiin”, rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam. Dalam konteks ini jika disandingkan dengan kejadian kematian anjing di Aceh pada 2021 lalu, sangat disayangkan dengan dalil untuk membangun wisata halal. Hal ini karena Islam merupakan agama cinta damai dan kasih sayang, bukan kekerasan.

Masyarakat jangan terjebak lagi dengan konsep wisata halal ini. Selain literasi yang harus ditingkatkan, keanekaragaman hayati termasuk flora dan Fauna juga harus diperhatikan. Hal ini karena Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keberagaman hayati, di samping juga memilki keanekaragaman suku, bahasa, agama, dan etnis.

Mari melihat Arab Saudi, di mana negara yang terkenal dengan ketatnya hukum syariat Islam ini, belakangan mulai melonggarkan kebijakan hukumnya untuk mencapai visi-misinya di masa depan.

Keterjebakan pemahaman seringkali melahirkan tindakan anarkis, yang jauh dari agama. Sehingga tak jarang ditemui banyak masyarakat yang hanya memahami teknisnya, bukan konteksnya.

Sinergis dengan fenomena ini, pemerintah sudah selayaknya mendefinisikan ulang atau pengenalan kembali konsep wisata halal secara intensif ke publik atau masyarakat.

 

*Amir Hamzah adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan.

Exit mobile version