Belum reda benturan antarpendukung politik pasca kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, kini muncul lagi masalah wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Wacana/usul itu dilontarkan oleh beberapa elit partai politik sejak bulan Februari 2022.
Dampak hal tersebut, apalagi benar terealisasi, bisa diprediksi performansi kinerja pemerintah dalam bidang politik bisa kembali menurun. Salah satu ukurannya dapat dilihat pada Indeks Demokrasi (ID) Indonesia yang diliris oleh pelbagai lembaga survei, baik nasional maupun internasional.
Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), pada tahun 2021 skor ID Indonesia berada di kategori/klafisikasi demokrasi yang cacat (flawed democracies). Skornya naik 0,41 poin (6,51 persen) dibandingkan dengan tahun 2020. Pada tahun 2020, posisi skornya sempat anjlok 0,18 poin (2,78 persen) dibandingkan dengan tahun 2019.
Skor ID Indonesia, menurut EIU (2022), pada tahun 2019 sebesar 6,48, tahun 2020 turun menjadi 6,30, dan tahun 2021 meningkat menjadi 6,71. Rerata peningkatannya selama tiga tahun tersebut sebesar 0,07 persen. Posisinya di level internasional berada di peringkat 52 dari 167 negara yang diteliti EIU.
Kemunculan masalah tersebut, secara teoritis-empiris dapat menjadi batu uji terhadap kinerja politik pemerintah. Meski dapat diketahui secara empirik ada variabel intervensi (pengganggu), selain variabel tersebut, yang juga berkontribusi terhadap capaian kinerja pemerintah di bidang politik.
Variabel itu tak lain adalah pandemi COVID-19, yang melanda Indonesia sejak 2 Maret 2020. Pandemi ini menggencet hampir semua target kinerja pemerintah. Karena alasan variabel itu, pemerintah menetapkan kebijakan darurat untuk mengatasi dampak buruk penyakit, sosial, dan ekonomi di Indonesia.
Namun, kondisi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengkonstruksi wacana penundaan Pemilu 2024. Apalagi wacana penundaan itu hanya didukung dengan informasi big data, yang mana instrumen pengumpulan datanya belum ter-validasi dan ter-reliabilitas secara empirik.
Pemilu/Pilpres 2024 tersebut merupakan amanah dari UUD 1945 Pasal 6A, 7, dan 22E. Jadi, karena ini merupakan amanah dari konstitusi, maka tidak boleh ditunda, apalagi hanya dengan alasan yang tak jelas. Hal ini karena UUD 1945 merupakan konstitusi negara Indonesia, yakni hukum tertinggi di negeri kita (supreme law of the land).
Secara teoritis, konstitusi tersebut merupakan kontrak sosial dari rakyat (bangsa Indonesia) pada negara (Pemerintah Indonesia). Sebagai kontrak sosial, konstitusi ini harus dijunjung tinggi oleh semua kalangan sebagai landasan kehidupan bernegara di Indonesia.
Oleh karena itu, mari hentikan wacana/usul penundaan Pemilu 2024 mendatang, songsong proses pelaksanaannya, dan gapai rezim politik demokrasi untuk kesejahteraan bangsa Indonesia! Hal ini krusial mengingat wacana tersebut tidak produktif, yang dapat memicu isu yang tak elok di publik, yaitu sarat muatan kepentingan politik dan kekuasaan golongan/kelompok tertentu.
Selain itu, penundaan Pemilu 2024 bisa membuka peluang muncul/lahirnya rezim otoritarian baru (new authoritarian regime) di era reformasi. Konsekuensinya, demokrasi Indonesia tetap berada di demokrasi yang cacat atau bahkan ke depan bisa jatuh pada rezim otoritarian.
Apalagi DPR RI, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu sudah menyepakati Pemilu 2024 akan digelar pada 14 Februari 2024. Oleh karena itu, semua kalangan, termasuk elit partai politik, harus bertanggung jawab untuk menyukseskan Pemilu 2024, sebagai salah satu instrumen konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Mohammad Fauzi adalah Peneliti di LsPD dan Pengajar di PTN/PTS di Jawa Timur.