Site icon Madurapers

Gen Z, Terpinggirkan atau Penguasa Dunia Kerja Era Digital

Foto penulis/Arshelina Renata Adiswara

ERA DIGITAL seperti pedang bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, mereka dapat dengan mudah mengakses informasi dan teknologi, membuka peluang-peluang baru yang menjanjikan. Namun, di sisi lain, mereka harus beradaptasi dengan tuntutan dunia kerja yang dinamis dan keterampilan baru yang mungkin belum mereka kuasai.

Pertanyaan yang muncul menjadi sangat penting: apakah Gen Z akan terpinggirkan di era yang mereka lahirkan? Atau sebaliknya, mereka memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dan inovator yang membawa dampak positif?

Kenyataannya tidak sesederhana hitam dan putih. Gen Z memang memiliki beberapa kelebihan, seperti melek digital, rasa ingin tahu tinggi, dan adaptasi yang cepat. Namun, Gen Z juga dihadapkan dengan tantangan, seperti minimya soft skills.

Sebuah studi oleh Deloitte menunjukkan bahwa 70% pengusaha di Indonesia merasa Gen Z kurang memiliki soft skills yang dibutuhkan di dunia kerja, seperti komunikasi interpersonal, pemecahan masalah, dan kepemimpinan. Selain itu, tekanan sosial, Gen Z terbiasa bermedia sosial dan ekspektasi tinggi dari orang tua, sehingga mereka merasa tertekan untuk segera mendapatkan pekerjaan yang prestisius. Hal ini dapat mengakibatkan stres, depresi, dan krisis identitas.

Alasan dan tantangan yang sering muncul yaitu kurangnya pengalaman kerja. Pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 45% perusahaan merasa Gen Z kurang siap menghadapi tuntutan dunia kerja, terutama karena minimnya pengalaman praktis di lapangan.

Generasi ini baru memasuki dunia kerja dan sering kali dianggap kurang memiliki keterampilan praktis dan pemahaman mendalam tentang industri tertentu.

Hal ini dikarenakan fokus pendidikan yang lebih banyak pada teori daripada praktek, minimnya kesempatan untuk magang atau bekerja paruh waktu, dan budaya kerja tradisional yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan gaya hidup dan karakteristik Gen Z.

Namun, pandangan dianggap terlalu pesimis, mengabaikan kemampuan adaptasi cepat dan semangat belajar yang tinggi dari Gen Z yang sebenarnya bisa menjadi aset berharga jika diberi kesempatan dan dukungan yang tepat.

Gen Z masih menghadapi tantangan terkait pengalaman praktis di dunia kerja. Namun, berpotensi besar dalam berinovasi dan menjadikan aset berharga bagi perusahaan yang ingin berkembang diera digital.

Tercatat 67% perusahaan global memandang Gen Z sebagai generasi paling inovatif, terutama dalam hal keahlian digital dan kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Gen Z tumbuh diera digital yang pesat dan memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai platform digital yang kini menjadi kebutuhan banyak industri.

Terlebih dari itu, Gen Z sebagai generasi yang mampu belajar dengan cepat dan membawa perspektif segar yang dapat membawa inovasi dan perubahan dalam perusahaan.

Perusahaan yang mampu memahami dan mengakomodasi kebutuhan Gen Z, seperti menyediakan lingkungan kerja yang fleksibel dan kolaboratif serta memberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang, akan mendapatkan keuntungan besar dari talenta-talenta muda ini.

Di Indonesia, Pemerintah terus berupaya untuk memuluskan hhjalan Gen Z dalam memasuki dunia kerja. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meningkatkan anggaran untuk sektor pendidikan setiap tahunnya.

Alokasi ini dikhususkan untuk pembaharuan kurikulum dan peningkatan kualitas pengajaran di semua tingkatan. Namun disisi lain, perlu diperhatikan terkait aksesibilitas pendidikan yang belum merata dan kualitas pengajaran yang masih tertinggal di beberapa daerah terpencil menjadi tantangan yang perlu diatasi.

Selain pendidikan formal, pengembangan pelatihan vokasional menjadi prioritas untuk membekali Gen Z sebuah keterampilan yang dibutuhkan industri, dengan fokus pada keterampilan teknis dan praktis yang dapat langsung diterapkan dalam dunia kerja.

Berbagai program pelatihan vokasional telah ditingkatkan oleh pemerintah dan sektor swasta. Namun kesempatan ini masih menjadi tantangan, Gen Z terutama daerah terpencil masih kesulitan untuk mengakses pelatihan vokasional yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Satu-satunya jalan Gen Z yaitu dengan pergi keluar daerah untuk mengikuti program tersebut. Tetapi untuk pergi merantau juga membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga Gen Z cenderung berkelana hanya di daerahnya saja.

Terakhir, kolaborasi industri dengan lembaga pendidikan adalah strategi penting untuk memastikan ketersediaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan sebuah program yakni MSIB ( Magang dan Studi Independen Bersertifikat). Program magang ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar tidak hanya di dalam kelas, tapi juga di lingkungan yang lebih luas, termasuk dunia kerja selain itu, program ini memberikan pengalaman kerja, mengembangkan keterampilan, dan membangun jejaring profesional.

Dengan memanfaatkan program MSIB Gen Z dapat meningkatkan daya saing dan memperlancar langkah Gen Z dalam meraih karir yang cemerlang. Sayangnya program ini hanya bisa di ikuti oleh mahasiswa, tetapi pada lembaga pendidikan lain biasanya melakukan kerjasama dengan industri secara mandiri tidak melalui pemerintah.

Kita perlu memandang Gen Z sebagai agen perubahan yang membawa berbagai inovasi dan energi ke dalam dunia kerja. Meskipun upaya untuk menyeimbangkan keterampilan dan ekspektasi antara Gen Z dan dunia kerja diperlukan, Namun masa depan Gen Z semestinya dilihat sebagai kesempatan untuk membangun dunia kerja yang lebih inklusif, dinamis, dan berkelanjutan.

Masa depan Gen Z bukan tentang disingkirkan, melainkan membuka jalan menuju masa depan penuh peluang. Di mana Gen Z dapat mengukir jejaknya sendiri dan memberikan kontribusi berarti bagi masyarakat dan ekonomi global.

Exit mobile version