Pemilihan umum (Pemilu) adalah sebuah panggung demokrasi yang diharapkan menjadi wadah bagi suara rakyat untuk dihormati dan diwujudkan dalam bentuk pemilihan pemimpin secara adil dan transparan. Namun, pertanyaan mendasar pun muncul: “Buat apa pemilu kalau curang?” Pertanyaan yang menggelitik, merangsang pikiran, dan menghadirkan refleksi mendalam terhadap realitas politik yang kadang-kadang keruh dan membingungkan.
Pemilu, dalam idealismenya, adalah manifestasi tertinggi dari suatu sistem demokrasi. Ini adalah saat di mana setiap warga negara memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan pemimpin mereka. Ini adalah momen di mana suara rakyat didengar, dihitung, dan dihormati. Namun, apa yang terjadi ketika proses ini ternyata tidak seadil yang diharapkan?
Curangnya pemilu tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, tetapi juga membahayakan fondasi demokrasi itu sendiri. Pemilu yang curang menunjukkan ketidakadilan sistem, ketidaktransparanan, dan terkadang korupsi yang mengakar dalam struktur politik sebuah negara. Ini adalah penghinaan bagi setiap warga negara yang menginginkan perubahan yang sejati melalui jalur demokratis.
Salah satu bentuk kecurangan pemilu yang paling meresahkan adalah pemalsuan hasil dan manipulasi suara. Ketika suara rakyat tidak dihitung dengan benar atau bahkan digantikan oleh suara palsu, maka konsekuensinya adalah pemimpin yang tidak mewakili kehendak rakyat akan terpilih. Ini bukanlah demokrasi; ini adalah tirani yang dilapisi dengan topeng demokrasi. Sebuah permainan politik yang menjijikkan yang merampas hak-hak rakyat.