Bangkalan – Pasca pemberitaan keterlibatan salah satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bangkalan pada kegiatan survei elektabilitas mantan Kepala Daerah Bangkalan di berbagai media online nasional, muncul bantahan dari Direktur Integrity, Ahmad Sukron, Senin (16/1/2023).
Menurutnya, pemberitaan itu tidak benar. Yang benar adalah survei untuk mengukur kinerja Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Dana operasionalnya murni hasil perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Bangkalan dengan lembaganya, klikku.net (Sabtu, 14/1/2023).
Perbedaan pemberitaan tersebut, tentu publik kemudian bertanya-tanya, mana yang valid? Menelisik pemberitaan ini, Mathur Husyairi, anggota DPRD Jatim menjelaskan bahwa klarifikasi itu blunder (kekeliruan, red.).
“Karena detik.com dan sindonews.com sudah menyebutkan nama seperti itu, alangkah lebih baiknya yang mengklarifikasi itu adalah personal yang disebut namanya,” ungkap Mathur saat diwawancarai wartawan Madurapers via telepon seluler, Senin (16/1/2023).
Mathur, yang juga aktivis anti korupsi di Bangkalan mempertanyakan, klarifikasi keterlibatan dia (SM, red.) ini sebagai apa atau hanya penghubung ke lembaga survei integrity itu atau bagaimana?
“Sampaikan aja ke publik sehingga itu (berita di media online, red.) tidak menjadi tanda tanya yang kemudian mengarah pada memojokkan dan mendiskreditkan komisioner (KPU Bangkalan, red.), ”ungkap Mathur.
Termasuk KPU Bangkalan, kata Mathur, secara kelembagaan mungkin bisa mengklarifikasi pemberitaan tersebut.
“Kalau memang iya atau itu murni hubungan antara Munir (salah satu Komisioner KPU Bangkalan, red.) sama Sukron (lembaga survei Integrity, red.) yang menawarkan survei kepuasan publik pada kinerja Pemerintah Kabupaten Bangkalan selama ini, jelaskan aja ke publik, “kata Mathur.
Itu sebenarnya tidak persoalan untuk diklarifikasi agar tidak liar asumsi-asumsi di publik. Sementara Sukron sendiri, kata Mathur, perlu memberikan penjelasan yang lebih detail bahwa ini (survei) ada MoU (Memorandum of Understanding), laporan kegiatan itu dan SPJ (Surat Pertanggungjawaban)-nya kalau itu menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
“Kalau dana itu dari sumber personal (pribadi) tidak perlu juga kita mengejar dan menanyakan uangnya dari mana? Tapi intinya duit itu diterima dari Sekda Bangkalan,” kata Mathur.
“Nah, Pak Sekda (Sekretaris Daerah) yang harus menjelaskan sumber dana itu. Apa itu dana pribadi, dana dari Bupati, atau urunan dari OPD-OPD (Organisasi Perangkat Daerah)?” Saran sekaligus pertanyaan Mathur.
Tapi yang aneh, tanya Mathur, kalau kegiatan itu murni profesional, mengapa ada pengembalian. “Harusnya mereka bertahan, tidak mau mengembalikan, kalau kegiatan itu murni profesional. Mengapa harus mengembalikan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” ungkapnya.
Kalau itu masuk dalam proses pengadilan, saran Mathur, itu (pengakuan, red.) harus dicounter. Jangan hanya berdasarkan pengakuan pak Sekda saja.
“Nah ini yang dipanggil Munir dan yang mengembalikan saya tidak mengetahui, apa Munir atau Sukron? Itu simpang siur karena tidak ada yang menjelaskan. KPK-pun tidak detail menjelaskannya ke publik, “tanya dan papar Mathur.
Jika yang menerima uang untuk survei itu adalah Sukron, seharusnya yang dipanggil KPK adalah Sukron. “Lho kok, Munir yang dipanggil KPK, “ujar Mathur heran.
Tapi saran saya, “Jelaskan masalah ini ke publik agar tidak liar asumsinya dan menjaga nama baik KPU Bangkalan juga!“
Ketika ditanya apa boleh KPU atau komisioner terlibat dalam kegiatan survei tersebut, Mathur menjelaskan, baik secara kelembagaan dan personal (Komisioner KPU Bangkalan, red.) tidak boleh menurut regulasi.
Kalau bupati Bangkalan aktif, ketika itu, akan berkontestasi pada Pilkada tahun 2024 dan kemudian dilakukan survei yang melibatkan personal KPU Bangkalan (baik sebagai perantara ke lembaga survei atau survei dilakukan sendiri, red.), kata Mathur, “Itu jelas melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.”
Karena survei kepuasan publik atas kinerja Pemerintah Kabupaten Bangkalan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pencalonannya pada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tahun 2024.
“Itu tidak etis dilakukan komisioner KPU. Tapi karena tidak ada yang melaporkan ke DKPP dan Bawaslu maka masalah itu belum jelas. Hal ini karena masalah seperti ini yang dapat memutuskan adalah DKPP, “kata Mathur.
Kode etik penyelenggara Pemilu ini terkait posisi seseorang Komisioner KPU yang harus netral, berintegritas, tidak memihak ke manapun menurut regulasi kepemiluan.