Site icon Madurapers

Komnas PA Nilai Gerakan Perlindungan Anak di Indonesia Tahun 2021 Masih Terseok -Seok

Ketum Komnas PA

Ketum Komnas PA Aris Merdeka Sirait dikenal dekat dan bisa menjadi pendengar yang baik bagi anak (Sumber Foto : Dokumentasi)

Jakarta – Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membuat catatan akhir tahun 2021. Hal ini disampaikan Ketua Umum (Ketum) Komnas PA, Aris Merdeka Sirait yang mengirimkan keterangan tertulis kepada madurapers.com, Selasa (4/1/2022).

Meningkatnya jumlah pelanggaran hak anak dan beragamnya modus operandi kekerasan terhadap anak, menurut Komnas PA menunjukkan bahwa gerakan perlindungan anak di Indonesia masih terseok-seok dan jika dibiarkan, maka masa depan anak Indonesia akan hancur, rusak dan dimungkinkan bangsa ini akan kehilangan generasinya.

Adalah fakta, terdapat sejumlah kasus pelanggaran hak anak yang dilaporkan kepada Komnas PA yang masuk kategori mengerikan dan di luar akal sehat manusia.

Data Komnas PA mencatat, terdapat banyak peristiwa, anak menjadi korban mutilasi, korban kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, serangan persetubuhan dalam bentuk hubungan seksual sedarah (incest), korban perbudakan seks, sampai anak menjadi korban eksploitasi seksual komersial.

Lebih lanjut Aris Merdeka Sirait melaporkan banyak anak menjadi korban penelantaran, penculikan dan perdagangan anak untuk tujuan adopsi ilegal, eksplotasi ekonomi dengan menjadikan pemulung, dan peminta-minta di jalanan.

Bahkan sambung Aris, panggilan karibnya, ada banyak anak tinggal di rumah-rumah bordir untuk tebusan dan membayar utang orang tua korban. Selanjutnya temuan Komnas PA terang Aris yaitu banyak pula anak hidup dalam ketidakpastian, kekurangan dan miskin.

Demikian juga jelas Aris terdapat ratusan ribu anak menjadi yatim piatu akibat epidemi virus COVID-19 tanpa dicarikan keluarga pengganti atau alternatif yang pada akhirnya dimungkinkan menjadi korban penelantaran, perdagangan orang dan tindak pidana lainnya.

Kemudian Komnas PA papar Aris juga melaporkan ada ribuan anak tinggal di daerah-daerah terpencil dan terisolasi tidak tersentuh program pembangunan dan tidak mempunyai akses terhadap informasi, pendidikan serta kesehatan.

“Ada banyak anak kehilangan keteladanan di lingkungan rumah maupun lingkungan sosial anak. Ada ayah dan ibu di rumah, namun secara emosional tiada,” ungkap Aris.

Artinya lanjut Aris, rumah tidak lagi bersahabat bagi anak dan anak karena kehilangan orientasi dalam keluarga. Dalam kondisi ini dan demi masa depan anak dan kepentingan terbaik, Komnas PA kata Aris mendesak sudah tibalah saatnyalah masalah anak dan pelanggarannya menjadi masalah bersama (Commond Issue) setara dengan gerakan nasional melawan epidemi virus COVID-19.

Aris menyerukan gerakan perlindungan anak dengan melibatkan semua orang dan komunitas (to All People and Community) baik melibatkan anak-anak orang tua, masyarakat, pemerintah, alim ulama, jurnalistik, politisi, stakholder perlindungan anak, aparatur negara, Polisi, Jaksa, Pengadilan dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di seluruh nusantara dan lembaga negara sangat diperlukan.

Ia membandingkan, jika untuk membangun gerakan nasional (commond Issue) melawan COVID-19 ada Badan Dunia Kesehatan (WHO) yang menggerakkan melawan COVID-19, seharusnya untuk gerakan perlindungan anak ada Badan Dunia Urusan Anak (UNICEF).

Dengan demikian Komnas PA kata Aris berharap untuk gerakan perlindungan anak bisa dilakukan setara dengan gerakan melawan COVID-19.

“Demi kepastian masa depan anak dan bangsa Indonesia, sudah saatnya Indonesia mempunyai sistim pendataan pelanggaran hak anak dan memberikan formulasi dan mekanisme nasional perlindungan anak,” pintanya.

Aris menambahkan, sudah tiba saatnya pula membangun gerakan perlindungan berbasis keluarga dan komunitas dengan melibatkan semua orang termasuk anak-anak.

Tidak hanya itu, untuk memberikan kepastian hukum bagi anak sebagai korban, kepastian penanganan secara cepat dan adil, sudah saatnya Kapolri meningkatkan Sub Direktorat Perlindungan Anak dan Perempuan menjadi Direktorat Perlindungan Anak dan Perempuan yang berada di tingkat Polda dan Mabes Polri.

Bagi penyidik Polri dan aparat penegak hukum lainnya, Komnas PA menurut Aris mengharapkan menerapkan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penerapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tatalaksana Kebiri Suntik Kimia dan PP Nomor 77 tentang Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.

“Untuk memberikan perlindungan yang memadai, sudah perlu dipikirkan untuk melakukan revisi terhadap UU Perlindungan Anak agar menjadi produk hukum yang sungguh melindungi anak,” tegasnya.

Untuk mencapai gerakan perlindungan anak yang konfrehensi dan tidak terseok-seok di tahun 2022, Komnas PA meminta sudah selayaknya Pemerintah menyediakan dana operasional perlindungan anak yang cukup dengan melibatkan semua orang dan komunitas (To All People and Community).

Mengapa hingga saat ini Pemerintah dan Negara tidak bisa menggerakkan bangsa ini untuk melindungi anak secara masif menurut Aris karena karena belum ada gerakan perlindungan nasional dengan membentuk Satuan Tugas Nasional (Satganas) melawan pelanggaran hak anak, seperti yang dilakukan Pemerintah melawan COVID-19.

Demikian juga demi kepastian masa anak dan bangsa Indonesia, Aris berpendapat sudah saatnya Indonesia mempunyai sistem pendataan pelanggaran hak anak secara nasional, sehingga dapat melahirkan formulasi dan mekanisme nasional perlindungan anak di Indonesia agar anak mendapat perlindungan anak secara maksimal.

“Sudah tiba saatnya pula, bangsa ini membangun gerakan perlindungan berbasis keluarga dan komunitas dengan melibatkan semua orang dan komunitas termasuk anak-anak,” pungkasnya.

Exit mobile version