Paradigma adalah suatu yang sangat amat esensial dalam suatu organisasi. Paradigma merupakan pola pikir atau cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas atau organisasi, tidak terkecuali PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Sebagai Kader atau Anggota PMII, sudah akrab dengan istilah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) yang sejak jenjang kaderisasi pertama dalam PMII, yaitu Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) diajarkan dan ditanamkan. Tentu, untuk menjelaskan PKT butuh waktu panjang dan banyak ruang. Sederhananya, PKT adalah kader PMII harus kritis terhadap suatu hal, lalu membuat perubahan pada situasi yang lebih baik.
Pengertian ini akan lebih tepat sasaran saat ditarik terhadap konteks Bangkalan, secara spesifik PKT mempunyai suatu kepekaan kondisi sosial yang tertindas, kemudian dikritisi dan membuat suatu gerakan transformatif, minimalnya dalam bentuk demonstrasi.
Apakah pengertian semacam ini salah? Tentu tidak. Sebab, secara garis besar gerakan seperti disebut merupakan bagian dari implementasi PKT. Akan tetapi bilamana disebut satu-satunya representasi PKT, maka tidak benar juga. Banyak ruang atau aspek terkait pola implementasi PKT. Sampel di atas hanya sebagian kecil saja.
Seyogyanya, penulis tidak mempunyai kapasitas untuk menyampaikan apalagi mengkritisi terkait PKT tersebut. Hanya saja, penulis tertarik untuk mengobrol masalah relevansi PKT di era yang serba canggih ini. Apakah PKT masih layak pakai, harus diganti, dimodifikasi atau direkonstruksi ulang saja? Mari bahas bersama.
Obrolan ini sudah lama menjadi topik pembahasan dan hampir terlupakan, usang. Namun mulai nampak ke permukaan kembali menjelang Kongres PMII ke-20. Ada 16 calon Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PMII yang akan berkontestasi dalam Kongres tersebut. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun tetap dengan tujuan untuk mengabdikan diri terhadap PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang berhaluan Aswaja An-Nahdiyah serta bersanad muttashil.
Muhammad Abdullah Syukri yang pada saat itu merupakan salah satu calon Ketua Umum PB PMII yang kemudian Gus Abe, sapaan akrabnya terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII 2021-2023 pada Kongres yang dilaksanakan di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (25/3) dengan perolehan suara 130 dari 242 suara.
Sekelas kontestasi tingkat Nasional, pastinya setiap calon membawa suatu konsep atau gagasan segar dan cemerlang untuk mewujudkan PMII kedepannya lebih baik. Gus Abe sebagai ketua umum terpilih memberikan sebuah tawaran untuk mengganti PKT dengan suatu paradigma yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Gus Abe menawarkan Paradigma Kritis, Transformatif dan Produktif.
Gus Abe yang saat ini mengasuh salah satu Pesantren di Cirebon, menyampaikan bahwa kritis dan transformatif saja di era 4.0 ini tidak cukup. Di era disrupsi ini persaingan yang serba cepat menuntut agar generasi saat ini mampu berkarya dan produktif sedangkan kunci hal itu adalah ilmu pengetahuan.
Realitas yang selama ini terjadi di tengah-tengah kader PMII hanya berdiskusi tentang segala bidang disiplin keilmuan, kebudayaan, pertanian, perekonomian dan sebagainya. Namun, selepas diskusi tidak ada tindak lanjut yang jelas atau suatu gerakan yang sifatnya berkelanjutan seperti adanya suatu karya, inovasi dan seterusnya. Hal ini yang kemudian menjadi batu sandungan kader PMII untuk bersaing.
Potensi Perguruan Tinggi Swasta
Kader PMII tersebar di berbagai Perguruan Tinggi (PT) di seluruh Indonesia, baik itu kampus negeri ataupun swasta. Demikian pula di kabupaten Bangkalan yang memang kebanyakan kampus swasta. Perguruan tinggi swasta yang dimaksud dalam tulisan ini secara spesifik diartikan sebagai PT yang berdiri di bawah naungan pondok pesantren. Hal ini merupakan suatu respon progresif suatu lembaga keagamaan tradisionalis yang kemudian berbondong-bondong mendirikan suatu PT sebagai upaya mencetak suatu generasi yang unggul.
Perguruan tinggi yang berdiri di bawah naungan pesantren memiliki persoalan yang kompleks. Sebab, suatu budaya kampus yang terkadang tidak kondusif dan melampaui batas etika menjadi suatu problem bagi pesantren yang menjunjung tinggi moralitas. Secara realitas nampaknya dua lembaga (Kampus dan Pesantren) bagaikan minyak dan air yang tidak bisa dipertemukan. Selain itu, persoalan lainya adalah kelengkapan fasilitas dan keterbatasan kesempatan.
Adapun Mahasantri (Mahasiswa sekaligus Santri dalam definisi penulis) yang ada di Kabupaten Bangkalan didominasi kader PMII, tanpa menutup kemungkinan banyak pula kader organisasi lainnya, yang secara kultur dan budaya yang sangat kontras dengan mahasiswa pada umumnya. Maka, kondisi yang seperti ini menuntut suatu solusi yang berbeda serta objektif.
Sebagaimana penulis sebutkan di bagian sebelumnya, PMII Cabang Bangkalan mengartikan PKT secara spesifik dalam aspek sosial dan politik. Bilamana melihat suatu kesenangan sosial, ketidakadilan, penindasan rakyat bawah, maka mau bagai manapun harus turun ke jalan.
Hemat penulis, hal tersebut tidak sepenuhnya relevan apabila memperhatikan kultur dan budaya pesantren yang sangat mengakar. Tidak relevan bukan dalam arti menuduh salah bahwa sepenuhnya gerakan demonstrasi dinilai salah. Tidak. Namun, perlu adanya suatu terobosan baru yang lebih objektif atau sesuai dengan kondisi kader-kader PMII Bangkalan.
Menjelang Konferensi Cabang (Konfercab) PMII Bangkalan tentu sangat diharapkan mampu memberikan suatu tawaran konsep atau gagasan yang segar dan relevan dengan kultur di Bangkalan yang sampai saat ini, hanya menjadi suatu harapan utopis. Belum didapati ketua cabang yang sepenuhnya memberikan suatu perhatian untuk mengembangkan PMII di kampus yang ada di naungan pesantren yang sejatinya merupakan potensi yang sangat luar biasa apabila diberdayakan dengan baik.
Sampai di sini, tawaran konsep paradigma kritis, tranformatif dan produktif oleh Gus Abe patut menjadi bahan pertimbangan. Bagaimana tidak, misalnya kader PMII Bangkalan diarahkan untuk berkarya dan berinovasi dalam segala bidang, kesenian, pertanian, perekonomian, pun dalam aspek lainnya. Misalkan salah satu komisariat PMII di Bangkalan mengembangkan pertanian menggunakan metode hidroponik sehingga hasilnya dapat menjadi income bagi komisariat masing-masing serta dapat mewujudkan kemandirian organisasi.
Ketua Cabang PMII Bangkalan dari tahun ke tahun berlatar belakang santri, demikian pula ketua PB PMII. Secara kapasitas dan kapabilitas tidak diragukan lagi, bahkan terkait kader PMII yang berstatus Mahasantri, tentu paham secara komprehensif tentang kultur dan budaya pesantren. Ini merupakan peluang bagi kader PMII untuk dikembangkan dan diberdayakan sesuai bidangnya masing-masing sehingga terwujud suatu organisasi yang berperadaban. Sekaligus ini menjadi harapan PMII Bangkalan kedepan.