Site icon Madurapers

Menko Polhukam Serukan Moderasi Beragama dan Kesatuan Bangsa

Menko Polhukam di Rapimnas Pengurus Dewan Pimpinan Pusat JATMI, Jakarta, Kamis, 3 Februari 2022 (Sumber: Kemenko Polhukam, 2022).

Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, meminta Jam’iyyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI) ikut mendukung upaya mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa, khususnya dalam mencegah merebaknya ekstremisme dalam beragama, Senin (7/2/2022).

Hal ini ditegaskan Mahfud saat hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional Pengurus Dewan Pimpinan Pusat JATMI, di Jakarta, Kamis, 3 Februari 2022.

Dalam forum yang ikuti pengurus JATMI seluruh Indonesia ini, Mahfud menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi dan mencegah ekstremisme.

“Pemerintah telah turut serta dalam kerja sama internasional guna memerangi terorisme. Pemerintah juga telah melakukan upaya penegakan hukum atas tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia. Namun, sekali lagi harus diingat bahwa sumber dari terorisme dan ekstremisme adalah pada pemikiran yang harus dilawan dan dicegah dengan pemikiran pula,” papar Mahfud.

Menurut Mahfud, menumpas aksi terorisme dan menghukum pelaku teror mungkin lebih mudah dilakukan, namun tidak mudah menumpas dan menghukum apa yang ada di alam pikiran.

Alam pikiran, lanjut Mahfud, dapat sewaktu-waktu dipengaruhi dan berkembang yang hanya dapat dilawan dengan pemikiran lain.

“Solusi atas ekstremisme adalah menumbuhkan, mengembangkan, menyuarakan, dan mempraktikkan moderasi beragama. Hal ini tentu memerlukan peran masyarakat, khususnya ahli agama dan organisasi keagamaan yang memiliki kompetensi dan legitimasi. Dalam konteks inilah saya yakin organisasi dan jamaah JATMI dapat memiliki peran besar bersama organisasi keagamaan lain dan pemerintah,” tambah Mahfud.

Sikap toleran, papar Mahfud, tidak cukup hanya mengatakan toleransi dan membiarkan ada orang berbeda, namun ditingkatkan dalam akseptasi atau penerimaan yakni tidak hanya sekadar memaklumi perbedaan, tapi menerima untuk saling bekerjasama demi kemajuan bersama.

Mahfud mencontohkan, dalam konteks berbangsa dan bernegara, agama Kristen, Hindu, Budha dan Islam memiliki Kalimatun Sawa atau titik temu, yakni visi yang sama dalam membangun bangsa yang bisa dipertemukan.

“Misal, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam punya Kalimatun Sawa, bahwa pemimpin harus adil, pemilu harus jujur, itu Kalimatun Sawa. Kalau saya mau beribadah hari Jumat, ya sholat Jumat, yang mau ke Gereja, ya silahkan ke gereja, itu bukan Kalimatun Sawa. Tapi membangun negeri itu bersama-sama, itulah Kalimatun Sawa,” tegas Mahfud.

Secara holistik, Mahfud yang juga alumni Pondok Pesantren Al-Mardiyah Pamekasan, mengakui bahwa JATMI senantiasa mendukung pemerintahan yang sah dan senantiasa berikhtiar meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, melalui usaha dzikir, dan pengembangan di bidang mental dan spiritual melalui amalan thoriqiah.

Di hadapan Jamaah Thoriqoh ini, Mahfud memaparkan tiga jenis ekstrimisme yang dapat mengarah pada tindakan terorisme dan intoleransi, serta berpotensi memecah-belah persatuan bangsa, yaitu jihadis, takfiri, dan ekstremisme ideologis.

Jihadis, menurut Mahfud, adalah paling ekstrem yang meyakini melakukan pembunuhan kepada orang lain yang tidak sepaham, atau bahkan membunuh orang dan kelompok tertentu yang dianggap menghalang-halangi terwujudnya paham mereka.

“Ekstremisme ini contohnya adalah ISIS dan beberapa kelompok terorisme di Indonesia. Mereka tidak hanya menyerang kelompok yang dianggap sebagai lawan, tetapi juga pihak yang dipandang menghalangi tujuan mereka,” jelas Mahfud.

Selanjutnya Takfiri, menurut Mahfud, Takfiri adalah paham yang menganggap paham lain, walaupun satu agama, adalah paham yang sesat, kafir, yang tidak saja harus dijauhi tetapi harus dimusuhi.

“Identifikasi kelompok tidak hanya pada level pemikiran, tetapi juga pada simbol-simbol tertentu, misalnya cara berpakaian,” tambah Mahfud.

Jenis ekstremisme terakhir yang lunak namun tetap berbahaya, lanjut Mahfud, adalah ekstremisme ideologis. Mereka memiliki paham tertentu yang dianggap paling benar dan menyalahkan paham yang dianut orang lain, bahkan paham nasional seperti Pancasila pun disebut sesat.

“Mereka berupaya mengubah Pancasila dengan memengaruhi pemikiran melalui lembaga pendidikan dan diskusi, serta brosur-brosur penyusupan bahwa Pancasila salah dan harus diganti,” pungkas Mahfud. (*)

Exit mobile version