Bangkalan – Dalam menghadapi krisis, manusia seringkali dikuasai oleh ketakutan yang merusak rasionalitas. Panic buying mencerminkan respons instingtif yang mengedepankan hasrat untuk bertahan hidup, alih-alih refleksi rasional atas kebutuhan nyata.
Ketika individu membeli barang secara berlebihan, mereka tidak hanya mencari barang itu sendiri, tetapi juga rasa aman. Dalam konteks ini, panic buying (beli panik) menjadi simbol dari pencarian makna di tengah kekacauan dan ketidakpastian.
Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa ketakutan terhadap ketidakpastian mendorong manusia mencari kendali. Melalui tumpukan barang yang dibeli, individu merasa memiliki kekuatan untuk menaklukkan masa depan yang tidak pasti.
Namun, apakah kendali tersebut sungguh nyata? Di sinilah paradoks muncul: manusia berusaha mengendalikan sesuatu yang, pada dasarnya, berada di luar jangkauannya, sehingga perilaku konsumtif menjadi pelarian semu.
Menurut Heidegger, kecemasan membuat manusia sadar akan “ketiadaan” yang mengancam eksistensi. Panic buying memperlihatkan upaya manusia mengisi kekosongan tersebut dengan objek-objek material, seolah-olah itu dapat mengusir ketakutan.
Akan tetapi, apakah pemenuhan kebutuhan material dapat menghapus kekhawatiran eksistensial? Filsafat stoik mengingatkan bahwa ketenangan batin hanya bisa dicapai melalui pengendalian diri dan penerimaan atas hal-hal yang tidak dapat diubah.
Panic buying justru mencerminkan sebaliknya: hilangnya pengendalian diri. Perilaku ini memperlihatkan bagaimana manusia sering kali lebih memilih ilusi keamanan daripada menghadapi kenyataan secara rasional dan tenang.
Dalam perspektif etika, tindakan ini juga menunjukkan dilema moral. Apakah tindakan membeli secara berlebihan, yang berpotensi merugikan orang lain, dapat dibenarkan atas dasar ketakutan pribadi?
Filsafat utilitarian akan mempertanyakan apakah manfaat pribadi yang diperoleh sebanding dengan kerugian kolektif yang ditimbulkan. Panic buying menunjukkan ketegangan antara kepentingan individu dan kebaikan bersama.
Selain itu, perilaku ini mengungkap sifat konsumtif manusia modern. Di dunia yang diwarnai kapitalisme, individu diajarkan bahwa solusi atas kekhawatiran dapat dibeli, sehingga kebutuhan spiritual dan emosional dialihkan pada pemenuhan material.
Dari perspektif fenomenologi, panic buying juga mencerminkan bagaimana persepsi membentuk realitas. Ketakutan akan kekurangan, meskipun mungkin tidak nyata, menciptakan kekurangan itu sendiri melalui tindakan kolektif.
Manusia, dalam hal ini, berperan sebagai pencipta realitas yang mereka takutkan. Fenomena ini menegaskan kekuatan pikiran dan persepsi dalam membentuk dunia sosial, sekaligus menunjukkan kerentanannya.
Akhirnya, panic buying mengajarkan bahwa di balik tindakan sederhana sekalipun tersembunyi persoalan filosofis yang mendalam. Tindakan tersebut bukan sekadar soal membeli barang, tetapi cerminan kegelisahan eksistensial, pencarian makna, dan pertarungan manusia dengan ketidakpastian.