Budaya  

Cinta dan Benci, Empedokles: Dua Kekuatan Abadi dalam Pusaran Kosmos

Fenomena cinta dan benci kehidupan manusia di dunia dari zaman ke zaman
Fenomena cinta dan benci kehidupan manusia di dunia dari zaman ke zaman (Dok. Madurapers, 2025).

Bangkalan – Dalam filsafat Empedokles, alam semesta bukanlah panggung hampa, melainkan arena pertarungan antara cinta dan benci. Dua prinsip ini, seperti benang tak kasat mata, merajut sekaligus merobek keberadaan segala sesuatu.

Cinta, atau philotes, bertindak sebagai daya pengikat, menyatukan anasir-anasir semesta dalam harmoni yang tak terbagi. Sebaliknya, benci (pertikaian), atau neikos, memisahkan dan menceraikan, menciptakan keterputusan yang menandai kefanaan.

Dinamika keduanya membentuk empat zaman kosmis yang terus berulang dalam siklus tanpa akhir. Zaman pertama adalah zaman kesempurnaan, di mana cinta berkuasa penuh dan benci tersingkir ke tepian.

Dalam zaman ini, alam semesta serupa bola sempurna, sebuah kesatuan tanpa perbedaan atau pertentangan. Tiada kematian, tiada perubahan, hanya keutuhan yang tenang di bawah naungan cinta.

Namun, harmoni abadi mustahil bertahan, sebab benci merangkak masuk dalam zaman kedua. Anasir-anasir mulai terpisah, menciptakan keteraturan yang tetap rapuh dalam kemungkinan kehancuran.

Kita, manusia, hidup dalam zaman ini—zaman di mana segala sesuatu memiliki bentuk, tetapi juga tak lepas dari kefanaan. Hidup dan mati, bertemu dan berpisah, semuanya adalah gema pertarungan cinta dan benci.

Ketika perceraian mencapai puncaknya, zaman ketiga tiba dengan benci sebagai penguasa mutlak. Alam semesta tercerai-berai dalam kesendirian total, cinta hanya tersisa sebagai bayangan di tepian realitas.

Pada titik ini, tidak ada lagi kehidupan, hanya anasir-anasir yang terpisah sempurna dalam keterasingan yang sunyi. Segala sesuatu yang pernah menyatu kini menjadi pecahan tanpa ikatan.

error:

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca