Sampang – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu organ negara utama, yang menentukan ada tidaknya suatu negara (unmittenbare organ), Minggu (19/2/2023).
Merujuk teori trias politica, yang membagi kekuasaan pokok negara menjadi tiga cabang kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. DPR merupakan lembaga yang melaksanakan cabang kekuasaan legislatif.
Demikian juga di daerah, konfigurasi kelembagaannya juga terdiri dari dua lembaga pokok, yaitu: Kepala Daerah dan DPRD, sesuai dengan Pasal 57 UU 23/2014.
Kepala Daerah dan DPRD merupakan organ penentu di daerah (unmittenbare organ), sehingga pengisian lembaga tersebut oleh konstitusi juga diatur secara setara.
Yaitu, melalui pemilihan langsung yang diusung oleh partai politik, sesuai dengan Pasal 22E dan 18 UUD 1945. Oleh karena itu, secara kelembagaan maupun secara personal lembaga dan anggota DPRD merupakan lembaga dan jabatan yang merepresentasikan rakyat.
Berangkat dari narasi di atas, Jamil Pakar Hukum Administrasi Negara menyampaikan, pemberhentian anggota DPRD Sampang juga harus diatur secara ketat, agar tidak mudah diturunkan (PAW) di tengah jalan.
Dalam Pasal 193 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD sudah diatur secara cukup ketat, meskipun dalam prakteknya rentan disalahgunakan.
Dalam pasal aquo DPRD dapat berhenti antar waktu atas tiga alasan, yaitu: (1) meninggal dunia, (2) mengundurkan diri, dan (3) diberhentikan.
Anggota DPRD dapat diberhentikan salah satu alasannya adalah diusulkan oleh partai politiknya atau diberhentikan sebagai anggota partai politik pengusungnya, sesuai dengan Pasal 193 ayat (2) huruf e dan h UU 23/2014.
Pemberian kewenangan kepada partai politik untuk menghentikan (mem-PAW) anggota DPRD rentan disalahgunakan manakala pihak-pihak yang berwenang dalam proses PAW tidak cermat dan tidak objektif dalam menerapkan ketentuan pasal aquo.
Pengusulan dan pemberhentian anggota DPRD oleh partai politik dipersyaratkan dengan harus mematuhi peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Artinya, tidak cukup bagi partai politik dan pejabat lain yang berwenang, dalam proses PAW anggota DPRD, hanya berpedoman pada ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf E dan h UU 23/2014. Tetapi juga harus secara cermat memperhatikan dan berpedoman ketentuan hukum yang lain.
Pengaturan PAW anggota DPRD berbanding lurus dengan besarnya legitimasi anggota DPRD, yang diperoleh langsung dari rakyat.
“Pentingnya posisioning anggota DPRD dalam konfigurasi ketatanegaraan Indonesia, sehingga partai politik tidak bisa secara ugal-ugalan memberhentikan anggota DPRD,, tanpa alasan yang jelas. Meskipun keberangkatannya berasal dari pengusungannya,” tutur Jamil.
“Penjelasan Pasal 193 huruf h, juga mempertegas syarat penggunaan wewenang partai politik dalam memberhentikan anggota DPRD yang diusungnya,” ungkapnya.
“Yaitu, harus menunggu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewijsde),” ungkapnya lebih lanjut.
Jamil menjelaskan, di samping pengaturan secara ketat, alasan pemberhentian anggota DPRD, pengaturan secara ketat juga terdapat dalam rentetan mekanisme pemberhentian anggota DPRD.
Pasal 194 dan 195 UU 23/2014 mengatur betapa banyaknya tahapan yang harus dilalui dalam memberhentikan anggota DPRD oleh partai politik.
Terdapat sedikitnya tiga lembaga negara yang harus dilalui, yaitu Pimpinan DPRD, Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota, manakala yang diberhentikan anggota DPRD tingkat kabupaten/kota, dan Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat.
Tiga lembaga negara tersebut, harus menyetujui secara administratif atas pemberhentian anggota DPRD. Tentu, semua pejabat negara yang terlibat dalam pemberhentian tersebut juga harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dalam regulasi itu dikenal asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) yang meliputi: (1) kepastian hukum, (2) kemanfaatan, (3) ketidakberpihakan, (4) kecermatan, (5) tidak menyalahgunakan kewenangan, (6) keterbukaan, (7) kepentingan umum, dan (8) pelayanan yang baik.
Dengan demikian,” Semua pejabat yang diberi kewenangan dalam memproses pergantian antar waktu anggota DPRD, selain harus patuh terhadap syarat dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 193, 194 dan 195 UU 23/2014, juga harus patuh pada AUPB, sebagai prinsip umum dan utama dalam menggunakan kewenangan sebagai pejabat pemerintah,” pungkasnya.