Site icon Madurapers

RUU KUHAP Dikritik: Lima Masalah Besar yang Belum Terjawab

Ilustrasi simbolik ketimpangan hukum akibat lima masalah besar yang belum terjawab dalam RUU KUHAP

Ilustrasi simbolik ketimpangan hukum akibat lima masalah besar yang belum terjawab dalam RUU KUHAP (Dok. Madurapers, 2025).

Jakarta – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dibahas DPR RI menuai kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa revisi ini masih mengandung banyak celah hukum yang berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia.

Pada 20 Maret 2025, Komisi III DPR RI mengumumkan penerimaan surat presiden terkait pembahasan RUU KUHAP. Ketua Komisi III, Habiburokhman, menegaskan bahwa revisi ini tidak akan mengubah wewenang aparat penegak hukum secara signifikan. Namun, setelah mencermati isi draft, Koalisi Masyarakat Sipil menemukan lima persoalan mendasar yang bertentangan dengan klaim tersebut.

 

1. Lemahnya Jaminan Pencegahan Penyiksaan

RUU KUHAP mencantumkan ketentuan rekaman CCTV dalam pemeriksaan tersangka. Namun, pemasangan CCTV tidak bersifat wajib, sehingga aparat penegak hukum tetap memiliki celah untuk melakukan kekerasan. Selain itu, rekaman CCTV sepenuhnya berada dalam penguasaan penyidik, tanpa mekanisme checks and balances yang independen.

Seharusnya, pengelolaan rekaman CCTV dilakukan oleh lembaga netral agar bukti bisa diakses secara adil oleh tersangka maupun penuntut umum. Sayangnya, RUU KUHAP juga tidak mengatur mekanisme akses rekaman bagi tersangka di pengadilan. Tanpa regulasi yang jelas, hak pembelaan tersangka masih berpotensi terabaikan.

 

2. Hak Kelompok Rentan Hanya Simbolik

RUU KUHAP mengatur hak kelompok rentan dalam pasal 137-139. Namun, regulasi ini tidak dilengkapi dengan mekanisme operasional yang memastikan hak-hak tersebut dapat diakses. Akibatnya, aturan ini hanya menjadi formalitas tanpa jaminan perlindungan yang nyata.

Lebih lanjut, tidak ada pihak yang diberi tanggung jawab jelas untuk memenuhi hak kelompok rentan. Forum pengaduan bagi mereka yang haknya dilanggar juga tidak tersedia. Tanpa sanksi bagi pelanggaran, pencantuman hak-hak ini hanya sebatas janji kosong.

 

3. Peran Advokat tidak Diperkuat

Dalam sistem peradilan yang ideal, advokat harus memiliki peran yang seimbang dengan jaksa dan hakim. Namun, RUU KUHAP masih membatasi peran advokat dalam proses penyidikan. Advokat hanya bisa mendengar dan menyatakan keberatan tanpa kewenangan yang lebih besar dalam membantu kliennya.

Ketimpangan semakin jelas dalam persidangan. Jaksa dapat menghadirkan saksi tambahan untuk menyanggah pembelaan terdakwa, tetapi advokat tidak memiliki hak serupa. Pembatasan ini bertentangan dengan prinsip adversarial dalam sistem peradilan yang menuntut keseimbangan antara pihak yang berperkara.

 

4. Syarat Penahanan Semakin Karet

RUU KUHAP menambah jumlah alasan seseorang dapat ditahan dari tiga menjadi sembilan. Namun, beberapa alasan bersifat subjektif, seperti “menghambat proses pemeriksaan” dan “memberikan informasi tidak sesuai fakta”.

Ketidakjelasan definisi ini membuka peluang penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik. Bahkan, tersangka yang meminta didampingi pengacara bisa dianggap menghambat pemeriksaan. Tanpa indikator objektif, penahanan bisa dilakukan secara sewenang-wenang.

 

5. Restorative Justice Disalahpahami

Konsep restorative justice (RJ) dalam RUU KUHAP dinilai salah kaprah. Alih-alih berfokus pada pemulihan korban, RUU ini justru menyamakan RJ dengan penghentian perkara di luar persidangan.

Lebih parah lagi, keputusan penghentian perkara dalam RUU ini diberikan kepada penyidik kepolisian tanpa pengawasan lembaga lain. Situasi ini rentan disalahgunakan untuk melakukan pemerasan atau mengintimidasi korban agar mau berdamai.

 

Desakan Perbaikan Substansi RUU KUHAP

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan substansial dalam revisi KUHAP. RUU ini seharusnya tidak hanya memperbarui aturan, tetapi juga memastikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka, advokat, dan kelompok rentan.

Jika dibiarkan dalam bentuk saat ini, RUU KUHAP justru berpotensi memperburuk praktik penyiksaan, pelemahan hak bantuan hukum, serta penyalahgunaan wewenang dalam proses penahanan. Pemerintah dan DPR perlu memastikan bahwa hukum acara pidana yang baru benar-benar berlandaskan prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.

Exit mobile version