Site icon Madurapers

Hiyal (Tipuan Legalistik) sebuah Ketaatan yang Tidak Bermoral

Ilustrasi salah satu paslon kontestan Pilpres 2024 (Foto: MP)

“Karena mereka memiliki negara, mereka bertindak seolah-olah mereka tidak membutuhkan moralitas lagi.”

DI PENGHUJUNG pesta demokrasi pemilihan Presiden 2024 ini untuk yang ke sekian kalinya kita diperlihatkan dan dipertontonkan sebuah perilaku politik yang merayakan individualisme, altruisme, nepotisme, dan egoisme kelompok.

Keculasan, manipulasi aturan hukum, etika, dan norma publik, semakin menggerogoti kepercayaan publik kepada segenap pemangku kekuasaan.

Aforismenya akan menjadi begini: “Dahulu, mereka bohong pun kita percaya. Sekarang, mereka bicara benar pun, kita yakin mereka bohong.” Kita seperti telah benar-benar kehilangan sosok Jokowi sebagai seorang presiden yang memimpin dan melayani jutaan rakyat yang memiliki pilihan yang berbeda-beda. Yang bisa kita saksikan hari ini hanyalah sosok Jokowi sebagai ayah yang melayani dan menyayangi anaknya (Gibran Rakabuming Raka).

Menjelang dilaksanakannya pemilu seperti sekarang ini. Barangkali kita mafhum, semua hal yang tidak bermoral selalu ditemukan pembenaran hukumnya. Sebab, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Perang adalah tipu daya,” dan karena mereka berada dalam perang politik tentu mereka dapat menggunakan segala macam tipu daya.

Al-Quran menyebutkan, “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat” (QS. Al-Isra’ [17]: 26). Jadi memenuhi birokrasi dengan kerabat mereka sendiri adalah baik-baik saja. Barangkali demikian wajah politik Indonesia saat ini.

Sejatinya, Inilah yang disebut oleh orang-orang Turki sebagai “ahlaksiz din-darlik” atau kesalehan (Taat hukum) tetapi tidak bermoral. Mereka menyamakan moralitas dengan hukum.

Jadi menurut definisi, apa pun yang diizinkan hukum menjadi moral. Pertanyaan apakah putusan hukumnya bermoral atau tidak hampir tidak pernah ditanyakan. Hanya karena tidak ada kriteria moral independen yang tersisa untuk menilai hukum.

Sebagai contoh nyata, perhatikan kasus pernikahan anak. Bagi banyak dari kita hari ini “Perkawinan” antara seorang gadis berusia sembilan tahun dengan seorang pria tua berusia enam puluh tahun akan tampak tidak manusiawi.

Begitu juga dengan tragedi putusan MK atas Gibran atau perihal presiden yang dengan percaya diri memberikan pernyataan kebolehan dirinya ikut serta dalam berkampanye adalah bagian yang tidak bermoral. Hal inilah di kemudian hari hingga hari ini dinilai tidak etis dan berpotensi melukai hati jutaan rakyatnya yang berbeda pilihan.

Tapi, siapa yang peduli dengan semua itu, jika satu-satunya kriteria mereka untuk menilai “baik” dan “buruk” hanyalah aturan hukum.

Dalam literatur yurisprudensi Islam klasik masalah semacam ini sudah diberikan peringatan dengan munculnya hiyal atau “tipuan legalistik”. Hal ini mengacu pada solusi yang ditawarkan para ahli hukum untuk menghindari larangan hukum dengan tetap melaksanakan hukum yang tertulis.

Sementara, taktik semacam ini menawarkan pragmatisme yang membantu dalam menghadapi aturan yang kaku, sekaligus taktik semacam ini juga membuka jalan bagi kemunafikan belaka.

Kasus yang populer adalah kasus orang kaya yang “memberikan” sebagian besar kekayaannya kepada anak-anaknya yang masih kecil tepat sebelum jatuh tempo tahunan pajak zakat, hanya untuk mendapatkan kembali setelah membayar pajaknya. Tentu hal ini tidaklah bermoral, tapi ini legal dan legalitaslah yang dianggap benar-benar penting.

Dalam kata-kata Abou El Fadl, kebanyakan dari kita memproyeksikan beban moralitas ke dalam hukum. Implikasinya adalah ketika mereka memiliki hukum yang benar, mereka akan dengan mudah membenarkan hal-hal yang secara objektif tidak etis.

Sementara, jika kita hendak berbicara etika lebih panjang dan lebar. Dari sisi keberadaannya, etika dapat dibagi sekurang-sekurannya menjadi dua bagian. Yang pertama, adalah etika deontologis, ia adalah norma moral yang mengikat bukan karena akibatnya baik atau buruk, melainkan karena memang itulah yang benar atau tidak benar pada dirinya sendiri.

Sementara yang kedua adalah etika teleologis, yang berpandangan bahwa suatu tindakan dinilai benar atau salah, tergantung dari apakah akibat-akibat (yang mau dicapai melalui)-nya baik atau buruk; pada dirinya sendiri setiap tindakan bersifat netral.

Etika teleologis di atas memiliki dua wajah, yaitu etika teleologis egois yang memandang bahwa benar tidaknya tindakan bergantung dari baik buruknya akibat bagi mereka, si pelaku sendiri (egoisme etis); dan etika teleologis universalis yang memandang bahwa benar tidaknya tindakan tergantung dari baik buruknya akibat bagi semua yang terkena dampak tindakan itu (utilitarisme).

Dan seharusnya presiden atau pejabat publik secara umum memiliki etika kebahagiaan (teleologis) itu. Sebab ia mengajak untuk hidup sedemikian rupa hingga mencapai/mendekati kebahagiaan; termasuk etika kebijaksanaan karena ajakan itu akan diikuti oleh orang bijaksana (norma-norma moral ditaati oleh orang bijaksana), sementara etika kewajiban (deontologis) adalah norma-norma moral yang ditaati karena wajib.

Wajib itu bisa karena ditetapkan oleh Tuhan (etika teonom) atau wajib karena disadari sendiri sebagai wajib (etika otonom, Kant). Sementara universalisme etis adalah norma-norma atau prinsip-prinsip moral yang dianggap berlaku sama bagi setiap orang, sementara relativisme etis adalah pandangan bahwa setiap budaya atau tradisi mempunyai norma-norma moralnya sendiri.

Adapun moralitas otonom adalah orang yang bertindak moral karena kesadarannya sendiri, sedangkan moralitas heteronom adalah orang yang bertindak moral karena tunduk terhadap sebuah hukum di luar.

Terakhir, hamba ingin menutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan untuk siapa pun yang membaca tulisan ini. “Jika putusan hukum bertentangan dengan hati nurani Anda, mana yang akan Anda pertanyakan?”

 

Hanif Muslim, Kader Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY) dari Desa Amparaan Kec. Kokop Bangkalan

Exit mobile version