Jakarta – Pasca disetujui oleh DPR RI, pemerintah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021. UU ini akan mulai efektif berlaku pada awal tahun (2022).
Tujuan UU HPP ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan, dan melaksanakan reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Untuk mencapai tujuan ini UU HPP mengatur kebijakan strategis, yang meliputi perubahan UU No. 6 Tahun 1983 dan perubahannya, UU No. 7 Tahun 1983 dan perubahannya, UU No. 8 Tahun 1983 dan perubahannya, UU No. 11 Tahun 1995 dan perubahannya, dan pengaturan program pengungkapan sukarela wajib pajak dan pajak karbon.
Menurut Fuad Bawazier, mantan Menkeu era Orde Baru, UU HPP ini mengatur semua jenis pajak di Indonesia. UU HPP ini menurutnya merupakan UU terjahat dan terburuk dalam sejarah Indonesia.
Mengapa demikian? Dilansir Madurapers dari Channel YouTube Rafly Harun yang diunggah pada 7 November 2021 Fuad Bawazier menjelaskan hal ini terkait dengan aturan Pajak Pertambahan Nilai dan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) ini yang sekarang 10% ditanggung oleh konsumen. Jadi, ketika kita membeli barang yang menjadi objek pajak rata-rata dari harga itu (barang tersebut) ditambah 10%.
PPn ini dikenal dengan Pajak Tidak Langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau konsumennya, bukan ditanggung (dibayar) oleh penjual atau produsen.
Sebelum UU HPP ini secara tegas disebutkan sembako, pendidikan, dan jasa kesehatan tidak dikenai tarif 10% PPn. Berbeda dengan UU sebelumnya, pada UU HPP barang/jasa tersebut dikenai PPn, kecuali Pemerintah memberikan pembebasan PPn.
Padahal sebenarnya menurut mantan Menkeu ini dulu barang (sembako) ini tidak dikenai pajak (PPn) tersebut. Tapi setelah UU HPP ini diberlakukan yang memberikan pembebasan barang ini adalah pemerintah sesuai dengan UU HPP Pasal 16B.
PPn ini menurut UU HPP Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b tarifnya sebesar 11% mulai berlaku pada 1 April 2020 dan tarif 12% mulai berlaku pada 1 Januari 2022.
Jadi, berdasarkan pasal UU tersebut menurut mantan Menkeu ini pemerintah diberikan kekuasaan untuk menetapkan dan membebaskan PPn (baik sementara waktu maupun selamanya) pada barang tertentu.
Ketentuan pasal UU ini praktis tidak memberikan kepastian hukum, dimana PPn diserahkan pada pemerintah oleh DPR RI, bisa dikenakan atau tidak.
Dengan kewenangan ini DPR RI menyerahkan cek kosong pada pemerintah. Kok ya tega-teganya, nyodorin, yang praktis bisa kewenangan pengaturan seluruhnya, praktis dari UU tersebut, sepenuhnya diminta cek kosong dari pemerintah, ungkap Fuad Bawazier.
Bahayanya Menkeu bebannya menjadi berat. Target PPn terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) harus tercapai, sementara PPn akan menjadi objek lobi berbagai pihak (wajib pajak), baik melalui jalur partai, istana, dan sebagainya, sehingga membuat Menkeu jadi tertekan.
Pengusaha besar, dalam keadaan tanpa kepastian hukum ini, potensial akan melakukan lobi, sehingga akan menjadi pasar lobi. Sementara kalangan lain (bawah) tergantung pada nasib aja. UU seperti ini menurutnya sulit memberikan keadilan, ketidakpastian pada investor, dan sulit tercapainya tax ratio (rasio pajak).
Jadi, aturan ini menjajdi tidak jelas. Hal ini karena item tarifnya tidak diitentukan, sebaliknya kewenangannya yang ditentukan.
Selain itu, dalam UU ini program pengungkapan sukarela wajib pajak, tax amnesty jilid II. Tapi jiwanya tax amnesty (pengampunan pajak) ini adalah terhadap pengusaha yang suka mengecilkan hartanya.
Anehnya tindakan ini tidak dikaitkan dengan tindakan kriminal. Padahal bisa jadi yang mengungkapkan hartanya dari kalangan pengusaha ilegal.