Site icon Madurapers

Panglima TNI Sampaikan Keterangan di MK

Majelis Hakim Konstitusi MK dalam agenda sidang mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan Pihak Terkait, Jakarta, Selasa, 8 Februari 2022 (Sumber: MK, 2022).

Jakarta – Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Andika Perkasa menyampaikan keterangan dalam uji UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, Rabu (9/2/2022).

Sebagaimana diberitakan di laman website MK, sidang lanjutan pengujian UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI digelar MK pada Selasa, 8 Februari 2022. Agenda sidang itu untuk mendengarkan keterangan DPR, Presiden dan Pihak Terkait. Panglima TNI selaku Pihak Terkait hadir secara daring.

Andika, panggilan akrab Panglima TNI Andika Perkasa, menjelaskan kepada Pleno Hakim, yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, mengenai perubahan batas usia pensiun, saat ini Pemerintah dan DPR akan membahas RUU atas UU TNI yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional dalam materi RUU tersebut termasuk perubahan batas usia pensiun.

Terhadap dalil-dalil para Pemohon Perkara 62/PUU-XIX/2021, Andika tidak membacakan di hadapan sidang. Sebab hal tersebut masih dibahas dalam RUU TNI.

Andika memohon izin kepada kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk tidak membacakan karena masih dalam pembahasan RUU, sehingga yang disampaikan di sidang pasti akan mengalami perubahan.

Andika juga memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut agar dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya.

Sementara itu dalam keterangan DPR yang disampaikan oleh Arteria Dahlan, terhadap kedudukan hukum para Pemohon, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu mengenai kerugian hak konstitusional atas berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.

“Para Pemohon juga perlu membuktikan secara kronologis mengenai hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujian,” ucap Arteria.

Terhadap kedudukan hukum para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 06/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

Terhadap pokok permohonan, DPR berpandangan bahwa reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik telah menghasilkan perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan.

Perubahan tersebut telah ditindaklanjuti antara lain dengan melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan.

DPR menegaskan, perubahan terhadap sistem ketatanegaraan berimplikasi pula pada TNI, antara lain adanya pemisahan antara TNI dan Polri yang menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing.

Ketetapan MPR Nomor 6/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri maupun Ketetapan MPR Nomor 7/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, sekaligus menjadi referensi juridis dalam mengembangkan suatu undang-undang yang mengatur tentang TNI.

Selanjutnya DPR menanggapi batas usia pensiun TNI dan Polri. Batas usia pensiun secara profesional ditentukan oleh institusi atau organisasi profesional yang bersangkutan.

Termasuk juga jenjang karir dan keahlian masing-masing profesi tersebut. Dikarenakan profesi alat negara yang tercantum dalam Pasal 30 UUD 1945 terdiri dari pertahanan dan keamanan yaitu TNI dan Polri, mempunyai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing sesuai undang-undang.

“Oleh karena itu, penentuan batas usia pensiun ditentukan oleh pembentuk undang-undang berdasarkan kebutuhan masing-masing institusi tersebut sesuai tugas dan kewenangannya. Penentuan batas usia pensiun tersebut tentunya harus berdasarkan kebutuhan personel dan keahlian yang dibutuhkan berdasarkan analisa jabatan, baik yang ada di kepolisian maupun TNI,” tandas Arteria.

Sebelumnya, Euis Kurniasih dan empat Pemohon lainnya melakukan pengujian Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama”.

Selain itu, menguji Pasal 71 huruf a UU TNI frasa “Usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama”.

Pasal-pasal yang diujikan tersebut berisi aturan mengenai batas usia pensiun prajurit TNI. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan adanya perbedaan batas usia pensiun prajurit TNI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diujikan dengan batas usia pensiun anggota Polri. Menurut para Pemohon, pengaturan usia pensiun anggota Polri tidak dibedakan berdasarkan golongan kepangkatan, melainkan berlaku untuk seluruh anggota Polri yaitu, usia pensiun paling tinggi 58 tahun.

Para Pemohon menilai Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI telah menimbulkan perbedaan perlakuan antara Prajurit TNI dengan anggota Polri yang mempunyai kesamaan sebagai alat negara yang menjalankan usaha pertahanan dan keamanan negara, telah secara nyata memberi perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama sehingga secara esensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan pada saat yang sama bertentangan pula dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar norma Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Exit mobile version