“Para Pemohon juga perlu membuktikan secara kronologis mengenai hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujian,” ucap Arteria.
Terhadap kedudukan hukum para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 06/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Terhadap pokok permohonan, DPR berpandangan bahwa reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik telah menghasilkan perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan.
Perubahan tersebut telah ditindaklanjuti antara lain dengan melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan.
DPR menegaskan, perubahan terhadap sistem ketatanegaraan berimplikasi pula pada TNI, antara lain adanya pemisahan antara TNI dan Polri yang menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing.
Ketetapan MPR Nomor 6/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri maupun Ketetapan MPR Nomor 7/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, sekaligus menjadi referensi juridis dalam mengembangkan suatu undang-undang yang mengatur tentang TNI.
Selanjutnya DPR menanggapi batas usia pensiun TNI dan Polri. Batas usia pensiun secara profesional ditentukan oleh institusi atau organisasi profesional yang bersangkutan.