Site icon Madurapers

Dorong Keluarga Menjadi Media Pencegahan Kekerasan Anak

Ilustrasi Stop Kekerasan terhadap Anak

Jakarta – Keluarga dan publik dipercaya oleh Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia menjadi media handal upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, Senin (3/1//2021).

Melumpuk dari informasi saiaran pers, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kemen PPPA, dari Ngopi Sore: Refleksi Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Anak Selama 2021 di Radio Sonora FM, Kamis (30/12/2021),

Nahar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA menuturkan perlunya upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak mulai dari tataran keluarga hingga pemerintah secara terstruktur dan sistematis, Minggu (2/1/2021).

Nahar menyakini bahwa permasalahan anak korban selalu berkaitan dengan orangtua, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari klasifikasi itu, menurutnya pertama, kita harus melakukan upaya, seperti memberikan pemahaman yang baik terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, sehingga mereka tidak mudah dibujuk rayu oleh pelaku serta dapat melakukan deteksi dini.

Kedua, perempuan dan anak harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang layanan dan pertolongan. Harus dipastikan juga, tidak cukup tahu dan paham, tapi harus memiliki keberanian untuk melapor dan meminta pertolongan.

Selain itu, pemerintah perlu mendorong terbangunnya Kabupaten/Kota Layak Anak sehingga pemenuhan hak dan perlindungan kepada anak terwujud.

Mengulik data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2021, Nahar menjelaskan terjadi penurunan tren kasus kekerasan terhadap anak.

Angka kekerasan terhadap anak laki atau perempuan tahun 2018 sebesar 6 kasusu dari total 10 kasus kekerasan. Angka ini menurun di tahun 2021, misalnya untuk anak perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun di sepanjang hidupnya menjadi 4 kasus dari 10 kasus dan untuk laki-laki menjadi 3 kasus dari 10 kasus.

Angka ini terus kami kawal karena bisa jadi penurunan ini adalah dampak dari upaya yang sudah dilakukan, baik upaya pencegahan, regulasi, dan lain sebagainya.

Nahar lebih lanjut menyebutkan, angka ini merupakan gambaran kekerasan terhadap anak secara nasional. Namun demikian, data pelaporan yang masuk belum cukup untuk menggambarkan kasus kekerasan yang dialami oleh anak secara makro, tapi hal yang mengembirakan adanya beberapa daerah yang lebih responsif dan mudah dalam mengakses pelaporan.

Susanto, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di sisi lain mengatakan, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya penurunan kasus kekerasan terhadap anak.

Pertama, kesadaran publik yang semakin meningkat. Kedua, keterlibatan media dalam pemberitaan isu anak yang lebih baik daripada sebelumnya, yang tentu menumbuhkan awereness mengenai yang terbaik dalam proses perlindungan anak.

Selain itu, layanan masyarakat yang tumbuh semakin baik, sehingga kepercayaan publik kepada lembaga layanan saat ini jauh lebih baik dan ini menjadi hal yang positif.

Susanto menyebutkan bahwa pada tahun 2021 KPAI telah menerima 2.061 pengaduan kasus perlindungan khusus anak. Menurutnya, terdapat tiga kasus dominan, yaitu: (1) kekerasan fisik dan psikis, (2) kejahatan seksual, dan (3) pornografi dan cybercrime.

Susanto selanjutnya mengatakan tahun baru ini harus menjadi momentum perbaikan sistem perlindungan anak ke depan agar lebih baik. Proteksi stakeholder terhadap upaya perlindungan anak harus dipastikan, apalagi ancaman kejahatan cyber, ke depan potensi kerentanannya cukup tinggi.

Era sekarang menurut kejahatan terhadap anak sudah bergeser ke arah sana. Oleh karena itu, sistem proteksi perlindungan anak berbasis cyber harus menjadi hajat besar negara, bahkan juga jaringan dari negara.

Paralel dengan pendapat tersebut, terkait upaya melakukan pencegahan dan penanganan kasus cybercrime yang dialami oleh anak, Kemen PPPA tengah menyusun peta jalan perlindungan anak di ranah daring untuk mendorong terbentuknya regulasi yang lebih memerhatikan kepentingan anak.

Penyusunan peta ini dilakukan Kemen PPPA dengan bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, KPAI, Badan Narkotika Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Organisasi Pemerhati Perlindungan Anak. (*)

Exit mobile version