Bangkalan – Fenomena panic buying kembali mencuat di tengah ketidakpastian ekonomi global. Contoh kasusnya terbaru, seperti fenomena di negara-negara Barat akibat perang, dan periode sebelumya terjadi di seluruh dunia akibat Pandemi COVID-19.
Kondisi itu menyebabkan ketidakpastian ekonomi, termasuk fenomena terkini adalah ketidakpastian ekonomi global. Akibat kondisi itu, warga berbondong-bondong membeli barang dalam jumlah besar karena takut akan kelangkaan.
Istilah panic buying atau “beli panik” merujuk pada tindakan membeli barang secara berlebihan akibat rasa takut dan kebingungan. Masyarakat cenderung kehilangan kendali dan bertindak impulsif saat situasi krisis terjadi.
Kata “beli” berarti memperoleh sesuatu dengan menukarkan uang atau usaha tertentu. Sementara “panik” mengacu pada kondisi bingung, gugup, dan ketakutan yang muncul secara mendadak.
Kombinasi kedua kata tersebut menggambarkan perilaku pembelian barang (bisa juga jasa) secara terburu-buru karena tekanan psikologis. Orang-orang merasa harus segera memiliki barang tersebut sebelum stok habis.
Fenomena ini biasanya terjadi saat bencana, ketidakstabilan ekonomi, atau saat harga barang diprediksi naik. Kekhawatiran akan ketidakpastian membuat banyak orang membeli lebih dari yang mereka butuhkan.
Teori perilaku konsumen dalam ilmu ekonomi mengkaji perilaku beli panik ini. Teori tersebut menjelaskan bagaimana tindakan kolektif seperti penimbunan barang dan penarikan dana besar-besaran bisa terjadi.
Perilaku ini menciptakan kekurangan stok barang di pasaran, meski kelangkaan tersebut seringkali hanya persepsi. Ketakutan masyarakat menciptakan permintaan yang tinggi, yang akhirnya memicu krisis baru.