Bangkalan – Dalam menghadapi krisis, manusia seringkali dikuasai oleh ketakutan yang merusak rasionalitas. Panic buying mencerminkan respons instingtif yang mengedepankan hasrat untuk bertahan hidup, alih-alih refleksi rasional atas kebutuhan nyata.
Ketika individu membeli barang secara berlebihan, mereka tidak hanya mencari barang itu sendiri, tetapi juga rasa aman. Dalam konteks ini, panic buying (beli panik) menjadi simbol dari pencarian makna di tengah kekacauan dan ketidakpastian.
Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa ketakutan terhadap ketidakpastian mendorong manusia mencari kendali. Melalui tumpukan barang yang dibeli, individu merasa memiliki kekuatan untuk menaklukkan masa depan yang tidak pasti.
Namun, apakah kendali tersebut sungguh nyata? Di sinilah paradoks muncul: manusia berusaha mengendalikan sesuatu yang, pada dasarnya, berada di luar jangkauannya, sehingga perilaku konsumtif menjadi pelarian semu.
Menurut Heidegger, kecemasan membuat manusia sadar akan “ketiadaan” yang mengancam eksistensi. Panic buying memperlihatkan upaya manusia mengisi kekosongan tersebut dengan objek-objek material, seolah-olah itu dapat mengusir ketakutan.
Akan tetapi, apakah pemenuhan kebutuhan material dapat menghapus kekhawatiran eksistensial? Filsafat stoik mengingatkan bahwa ketenangan batin hanya bisa dicapai melalui pengendalian diri dan penerimaan atas hal-hal yang tidak dapat diubah.
Panic buying justru mencerminkan sebaliknya: hilangnya pengendalian diri. Perilaku ini memperlihatkan bagaimana manusia sering kali lebih memilih ilusi keamanan daripada menghadapi kenyataan secara rasional dan tenang.