Dalam perspektif etika, tindakan ini juga menunjukkan dilema moral. Apakah tindakan membeli secara berlebihan, yang berpotensi merugikan orang lain, dapat dibenarkan atas dasar ketakutan pribadi?
Filsafat utilitarian akan mempertanyakan apakah manfaat pribadi yang diperoleh sebanding dengan kerugian kolektif yang ditimbulkan. Panic buying menunjukkan ketegangan antara kepentingan individu dan kebaikan bersama.
Selain itu, perilaku ini mengungkap sifat konsumtif manusia modern. Di dunia yang diwarnai kapitalisme, individu diajarkan bahwa solusi atas kekhawatiran dapat dibeli, sehingga kebutuhan spiritual dan emosional dialihkan pada pemenuhan material.
Dari perspektif fenomenologi, panic buying juga mencerminkan bagaimana persepsi membentuk realitas. Ketakutan akan kekurangan, meskipun mungkin tidak nyata, menciptakan kekurangan itu sendiri melalui tindakan kolektif.
Manusia, dalam hal ini, berperan sebagai pencipta realitas yang mereka takutkan. Fenomena ini menegaskan kekuatan pikiran dan persepsi dalam membentuk dunia sosial, sekaligus menunjukkan kerentanannya.
Akhirnya, panic buying mengajarkan bahwa di balik tindakan sederhana sekalipun tersembunyi persoalan filosofis yang mendalam. Tindakan tersebut bukan sekadar soal membeli barang, tetapi cerminan kegelisahan eksistensial, pencarian makna, dan pertarungan manusia dengan ketidakpastian.