Muktamar NU ke-34 rencananya akan digelar di Lampung berdasarkan Rapat Pleno Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU, Sabtu (25/9).
Kiai Said Agil Siradj menyampaikan bahwa pelaksanaan Muktamar NU ke-34 akan diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 2021 dengan catatan bahwa penyelenggaraan seluruh kegiatan Muktamar akan mematuhi protokol kesehatan dan mendapatkan persetujuan Satgas Covid-19, baik di tingkat nasional maupun daerah. Keputusan itu diambil berdasarkan musyawarah yang melibatkan Rais Aam PBNU, Katib Aam PBNU, dan Sekretaris Jenderal.
Selain waktu pelaksanaan, salah satu rekomendasi dalam rapat pleno itu adalah Calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan dipilih melalui metode ‘one man one vote’ atau pemilihan suara. Sebaliknya, untuk pemilihan Rais Aam dilakukan melalui perwakilan atau Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sebagaimana yang pernah dilakukan pada Muktamar NU ke 33 di Jombang Jawa Timur.
Munculnya Nama-Nama Kandidat
Pasca keputusan itu, bursa bakal calon ketua umum PBNU semakin menguat dan muncul ke permukaan. Selain Kiai Said Agil Siradj sebagai calon incombent, muncul nama lain seperti Yahya Cholil Staquf, Katib Aam PBNU. Kiai Said mengaku siap maju menjadi calon Ketum PBNU, bila memang diminta oleh para kiai dan pengurus NU untuk mengabdi di periode ketiganya nanti.
Sebaliknya, munculnya Yahya Cholil Staquf sebagai penantangnya menurut pendukungnya karena memiliki kedekatan khusus dengan Gus Dur dan qualified tidak hanya di level nasional melainkan juga di level internasional yang diharapkan dapat membawa NU lebih baik di tengah arus perubahan yang sangat cepat.
Selain nama di atas, beredar flyer digital delapan tokoh muda yang bertuliskan “sekarang waktunya yang muda jadi Ketum PBNU”. Sebut saja diantaranya, Gus Cholil Nafis, Gus Nusron Wahid, Gus Maman Imanulhaq, Gus Abdul Muhaimin Iskandar, Gus Ahmad Fahrur Rozi, Gus Yusuf Chudlori, Gus Reza Ahmad Zahid, dan Gus Abdurrahman Al-Kautsar.
Dari sisi historis, pemimpin muda yang menduduki jabatan strategis di NU bukan hal yang baru. Sebelumnya, Kiai Idham Cholid menjadi Ketua Tanfidyah saat berumur 34 tahun. Bahkan, seperti yang beritakan di laman NU Online, Kiai Mahfudz Siddiq di usia 30 tahun sudah menjadi Ketua PBNU (dulu HBNO) atas permintaan KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU di Malang tahun 1937.
Melihat rangkaian sejarah itu, tokoh-tokoh muda yang belakangan muncul masih relatif lebih senior dibandingkan dengan kepemimpinan kedua tokoh fenomenal di atas saat pertama kali menduduki jabatan strategis pada zamannya. Dengan kata lain, kemungkinan munculnya pemimpin muda di NU ke depan tidak mustahil terjadi, apalagi dengan modal sosial, politik, dan intelektual yang cukup mumpuni.
Munculnya beberapa kandidat menjelang Muktamar memberi lebih banyak pilihan bagi para muktamirin dalam memberikan hak politiknya kepada salah seorang yang bisa dipercaya, walaupun tidak ada jaminan bahwa yang akan terpilih nantinya adalah yang terbaik diantara para kontestan lainnya.
Di satu sisi, pelembagaan demokrasi politik melalui pemilihan pemimpin dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh mekanisme yang baik untuk menghindari kecurangan, kekerasan, diskriminasi, dan munculnya praktek politik uang. Di sisi lain, para muktamirin diharapkan menjadi pemilih yang cerdas dan tidak terjebak pada iming-iming yang akan mengorbankan cita-cita besar NU ke depan.
Munculnya banyak kandidat perlu diapresiasi sebagai pembangunan demokrasi dan pendidikan politik, khususnya bagi Jamiyah, namun bisa juga menjadi ancaman jika menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan gagalnya rekonsiliasi pasca muktamar yang akan mengikis dan merongrong spirit demokrasi itu sendiri.
Belajar dari Masa Lalu
Muktamar NU ke,-33 memberikan pelajaran berharga yang tidak terlupakan sebagai pembelajaran bersama dalam sejarah pemilihan pemimpin NU, yang menyisakan residu yang mana hingga kini masih membekas, khususnya bagi Jam’iyah.
Masa lalu kelam sangat disayangkan oleh banyak pihak termasuk ketua terpilih, Kiai Said Agil Siradj, yang merasa malu terjadi kegaduhan sampai tidak bisa ditolerir. Pimpinan GP Ansor juga memberikan penilaian yang paling tidak mendidik sepanjang sejarah Muktamar sejak berdirinya Nahdlatul Ulama 1926.
Menurutnya, kekisruhan dalam Muktamar NU disebabkan adanya pemaksaan penggunaan metode AHWA untuk pemilihan Rais Aam. Sistem pemilihan ini baik, tetapi caranya salah, kurang dialogis.
Ketidakpuasan muktamirin mulai dari proses awal, pelaksanaan, dan hasil muktamar sangat berimbas pada lemahnya legitimasi moral keputusan dan hasil muktamar, walaupun secara hukumbhasilnya tidak dapat diganggu gugat dan tetap akan menjalankan organisasi selama masa bhaktinya.
Namun demikian, bukan berarti menafikkan masalah mendasar dalam pelaksanaannya. Demokrasi prosedural yang dibangun dalam muktamar terjebak pada conflict of interest, perdebatan yang tidak terkendali, pertarungan kekuasaan dalam pemilihan pemimpin yang merubah arah subtansi dari tujuan muktamar menjadi aksi dukung mendukung yang berlebihan untuk memenangkan jagoannya.
Menjelang Muktamar NU ke 34, pembangunan demokrasi tidak hanya perlu dilihat secara prosedural saja, melainkan juga dapat dilihat dari sisi kualitas demokrasi yang menekankan pada kebebasan, penghormatan, dan kesetaraan dalam membangun ruang dialog.
Ruang dialog bukan semata-mata tersedianya forum-forum dengar pendapat, diskusi-diskusi yang melibatkan muktamirin atau rumah-rumah aspirasi seperti yang bermunculan, khususnya menjelang pemilihan pemimpin politik, tetapi juga terkait dengan diskursus yang menjadi dasar pijakan dalam menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nahdliyin dan yang lebih luas masyarakat.
Diskursus ini hendaknya menjadi dasar dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan; Inklusif terhadap pandangan yang berbeda dengan kesetaraan dalam berpartisipasi; dan musyawarah terbuka, akses informasi, penghormatan, kesempatan memahami dan mereformasi isu dan gerakan menuju konsensus bersama.
Melalui Muktamar NU ke-34 diharapkan tidak hanya menghasilkan pemimpin yang kredibel dan berintegritas tetapi juga dapat melahirkan isu-isu kebangsaan sebagai organisasi yang konsisten menjaga NKRI. Untuk itu, dialog-dialog yang terbuka antarcalon dalam menggagas isu-isu kekinian menjadi sangat relevan tidak hanya dalam meraih dukungan tetapi juga yang lebih mendasar menggali aspirasi-aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.
Lalu pertanyaannya, apakah sistem AHWA sudah melalui diskursus di kalangan nahdliyin atau hanya rekomendasi elites yang sengaja dipaksakan dalam muktamar?
Setidaknya pengalaman masa lalu dapat dijadikan sebagai pembelajaran bersama dan dilakukan perbaikan-perbaikan secara terus menerus. Bukankah dalam demokrasi juga memberikan ruang dan prosedur untuk melakukan perbaikan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman?
*Abdul Mukhlis adalah alumni Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya dan Pemerhati Sosial-Politik dan Kebijakan Publik