Selain nama di atas, beredar flyer digital delapan tokoh muda yang bertuliskan “sekarang waktunya yang muda jadi Ketum PBNU”. Sebut saja diantaranya, Gus Cholil Nafis, Gus Nusron Wahid, Gus Maman Imanulhaq, Gus Abdul Muhaimin Iskandar, Gus Ahmad Fahrur Rozi, Gus Yusuf Chudlori, Gus Reza Ahmad Zahid, dan Gus Abdurrahman Al-Kautsar.
Dari sisi historis, pemimpin muda yang menduduki jabatan strategis di NU bukan hal yang baru. Sebelumnya, Kiai Idham Cholid menjadi Ketua Tanfidyah saat berumur 34 tahun. Bahkan, seperti yang beritakan di laman NU Online, Kiai Mahfudz Siddiq di usia 30 tahun sudah menjadi Ketua PBNU (dulu HBNO) atas permintaan KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU di Malang tahun 1937.
Melihat rangkaian sejarah itu, tokoh-tokoh muda yang belakangan muncul masih relatif lebih senior dibandingkan dengan kepemimpinan kedua tokoh fenomenal di atas saat pertama kali menduduki jabatan strategis pada zamannya. Dengan kata lain, kemungkinan munculnya pemimpin muda di NU ke depan tidak mustahil terjadi, apalagi dengan modal sosial, politik, dan intelektual yang cukup mumpuni.
Munculnya beberapa kandidat menjelang Muktamar memberi lebih banyak pilihan bagi para muktamirin dalam memberikan hak politiknya kepada salah seorang yang bisa dipercaya, walaupun tidak ada jaminan bahwa yang akan terpilih nantinya adalah yang terbaik diantara para kontestan lainnya.
Di satu sisi, pelembagaan demokrasi politik melalui pemilihan pemimpin dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh mekanisme yang baik untuk menghindari kecurangan, kekerasan, diskriminasi, dan munculnya praktek politik uang. Di sisi lain, para muktamirin diharapkan menjadi pemilih yang cerdas dan tidak terjebak pada iming-iming yang akan mengorbankan cita-cita besar NU ke depan.