Jakarta – Pasar modal Indonesia mengalami tekanan besar dalam beberapa bulan terakhir, ditandai dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa faktor utama di balik gejolak ini adalah dinamika ekonomi politik yang tidak sehat.
“Pasar modal adalah alarm terhadap politik dan kebijakan pemerintah. Yang pertama dan terang benderang faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik,” ujarnya, Rabu (19/03/2025). Ia menambahkan bahwa dua pertiga dari masalah ekonomi berasal dari politik, dan sebaliknya, tantangan terbesar politik adalah ekonomi.
Menurutnya, pemilihan umum biasanya membawa optimisme bagi pasar karena dianggap sebagai penyegaran kepemimpinan. Namun, jika proses demokrasi diwarnai tekanan dan politik uang, kepercayaan pasar justru akan menurun.
IHSG telah anjlok lebih dari 11 persen dalam tiga bulan terakhir, turun dari 7.163 menjadi 6.146. Prof. Didik menyoroti bahwa penurunan ini merupakan reaksi pasar terhadap kebijakan yang tidak konsisten dan ketidakstabilan politik yang semakin meningkat.
“Pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi serta kebijakan yang dilakukan selama ini. Penolakan itu terlihat dari modal yang hengkang dari Indonesia,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan yang tidak terencana dengan baik bisa memperburuk keadaan. Salah satu contohnya adalah pembentukan Danantara yang disahkan DPR dalam waktu singkat.
“Ide Danantara bagus, bisa menjadi Temasek versi Indonesia. Tetapi jika kebijakan dieksekusi secara terburu-buru dan tanpa transparansi, dampaknya justru negatif,” tegasnya. Setelah Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025, investor asing langsung menarik Rp24 triliun, termasuk Rp3,47 triliun dalam sehari.
Menurut Prof. Didik, pemerintah harus memperhatikan reaksi pasar terhadap kebijakan yang diambil. “Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar, dan tidak lagi merasa kebijakan mendadak akan diterima pasar,” ungkapnya.
