Bangkalan – Lupis bukan sekadar makanan, tetapi simbol kuat dari akar kuliner Jawa yang tetap mengikat rasa dan kenangan. Makanan khas ini masih setia menghuni pasar tradisional tradisional, menyapa setiap pagi dengan aroma nostalgia.
Bentuknya ada dua, segitiga dan bulat memanjang seperti lontong, dibungkus rapi dalam daun pisang. Di balik tampilannya yang sederhana, Lupis menyimpan cerita sejarah panjang sejak zaman kolonial Belanda.
Masyarakat Jawa menyebutnya “lupis”, berasal dari kata “lupus” yang berarti diikat, merujuk pada bentuk dan teknik pembuatannya. Ikatan itu tidak hanya menjaga isiannya, tetapi juga menjadi metafora keterikatan budaya dan tradisi.
Lupis dibuat dari beras ketan yang direndam dan dibungkus dalam daun pisang, kemudian direbus hingga matang. Saat disajikan dengan kelapa parut kukus dan gula merah cair, Lupis menjelma jadi hidangan sarapan yang mengenyangkan.
Kandungan karbohidrat yang tinggi menjadikan Lupis pilihan ideal di pagi hari, terutama bagi para pekerja dan pedagang pasar. Hidangan ini menyatukan fungsi dan rasa—memberi tenaga dan kenikmatan sekaligus.
Meski zaman berubah, resep Lupis tetap lestari dalam dapur-dapur rumah dan lapak-lapak kaki lima. Proses pembuatannya pun tak pernah jauh dari akar tradisional, dengan daun pisang yang dijemur atau dipanaskan agar mudah dilipat.