Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membatasi. Namun, pilihan untuk tidak menghadirkan pendidikan Bahasa Madura justru membatasi potensi generasi muda Madura.
Bahasa Madura memiliki kekuatan untuk membangun solidaritas dan memperkuat ikatan sosial. Ketika bahasa ini dilemahkan, kohesi sosial pun ikut terkikis.
Bahasa bukan sekadar kata-kata; ia adalah memori kolektif. Kehilangannya berarti hilangnya kisah, nilai, dan makna hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Masyarakat Madura akan menghadapi krisis identitas jika generasi mudanya tidak lagi mampu memahami bahasa leluhurnya. Krisis ini akan berdampak pada rasa percaya diri dan kemandirian budaya.
Tanggung jawab perguruan tinggi di Madura adalah menghadirkan pendidikan yang relevan dan berakar pada kebutuhan lokal. Mengabaikan Bahasa Madura berarti mengabaikan kebutuhan paling mendasar itu.
Bahasa Madura harus dipertahankan bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan masyarakat. Guru-guru yang kompeten adalah kunci untuk menciptakan generasi yang bangga dengan identitasnya.
Jika vitalitas bahasa Madura terus menurun, upaya pelestarian budaya akan menjadi sia-sia. Tanpa bahasa, cerita dan kebijaksanaan lokal akan hilang ditelan waktu.
Bahasa Madura adalah rumah bagi masyarakat etnis Madura. Jika rumah itu roboh, ke mana lagi identitas ini akan bernaung?
Perguruan tinggi di Madura harus menyadari peran strategisnya dalam membangun peradaban lokal. Keputusan untuk membuka program studi Bahasa Madura adalah langkah penting menjaga keberlangsungan budaya.
Menghidupkan Bahasa Madura dalam dunia akademis adalah wujud keberpihakan pada masa depan. Ini bukan sekadar tentang bahasa, tetapi tentang merawat jiwa dan identitas sebuah masyarakat.
Jika lembaga pendidikan tinggi tetap abai, maka sejarah akan mencatatnya sebagai bagian dari peradaban yang membiarkan identitasnya terkikis. Pada akhirnya, yang hilang bukan hanya bahasa, tetapi juga kebanggaan menjadi Madura.
Semoga uraian ini mampu mengetuk relung kesadaran para insan akademik di perguruan tinggi Madura, menggerakkan langkah menuju ikhtiar mulia: membuka program studi Bahasa Madura.
Tak perlu seluruhnya, cukup satu sebagai tonggak awal, sebab dari sebuah pijakan kecil, denyut kehidupan sebuah bahasa dapat terus berdetak—menjaga jati diri, merawat kebudayaan, dan mengabadikan makna di antara arus zaman.
Muhaimin, guru bahasa Madura di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Asshomadiyah, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
