Jakarta – Keterwakilan perempuan sangat penting dalam pemilu 2024 mendatang. Dilansir dari Humas KPU RI di laman KPU RI, pendapat tersebut disampaikan oleh Evi Novita Ginting Manik (anggota KPU RI), Nisa Amerta (Peneliti PUSaKO FH Unand), Khoirunnisa Nur Agustyati (Direktur Eksekutif Perludem), dan Dhia Al Uyun (Dosen HTN Universitas Brawijaya).
Pendapat tersebut disampaikan mereka secara daring dalam kegiatan diskusi publik “Mendorong Keterwakilan Perempuan dalam Penyelenggaraan Pemilu: Bukan Sekadar Jumlah” yang digelar di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas (Unand), Senin (27/12/2021).
Menurut mereka keterwakilan perempuan bukan hanya sekadar angka (red: jumlah 30%), tapi lebih dari itu dengannya penyelenggaraan pemilu lebih baik, yakni berintegritas, mandiri, profesional, dan transparan, Minggu (2/1/2021).
Evi Novida Ginting Manik, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, menyampaikan bahwa pada Pemilu 2019 jumlah pemilih perempuan mencapai 50,07% (96.538.965) dari jumlah total pemilih yang mencapai 192.770.611 orang.
Menurutnya perempuan hadir dalam pemilu bukan hanya untuk memenuhi 30% keterwakilan perempuan, namun lebih dari itu untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu berintegritas, mandiri, profesional, dan transparan.
Evi menjelaskan lebih lanjut bahwa kendala pelaksanaan kebijakan afirmatif diantaranya di internal (red: KPU) adalah sosialisasi dan penerapan aturan, sedangkan di eksternal adalah partai politik yang belum memahami subtansi, serta kesiapan personal untuk mencalonkan diri.
Atas dasar hal itu, beberapa resolusi masalah disampaikan Evi: pertama, partai politik untuk menempatkan banyak kader perempuan dalam struktur kepengurusannya.
Kedua, KPU untuk memulai pendidikan pemilu dan demokrasi jauh hari sebelum hari pemilu, seperti program Desa Peduli Pemilu, untuk menumbuhkan kesadaran kolektif pentingnya pemilu dan demokrasi dari akar rumput.
Ketiga, NGO dan perguruan tinggi untuk melakukan lebih banyak penelitian dan kajian untuk peningkatan jumlah perempuan di bidang politik.
Sementara di kesempatan lain, Nisa Amerta, Peneliti PUSaKO FH Unand, menjelaskan dalam kebijakan afirmasi penyelenggaraan pemilu (UU Pemilu) harus memperhatikan keterwakilan perempuan, paling sedikit 30%, yang terdapat komposisi keanggotaan KPU sesuai dengan Pasal 10 ayat (7), serta komposisi keanggotaan Bawaslu ada di Pasal 92 ayat (11).
Lebih lanjut Nisa menjelaskan upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam pemilu diantaranya perlu: pendidikan politik, dorongan organisasi perempuan, advokasi terhadap kaum perempuan tentang pentingnya perempuan terlibat dalam dunia politik. Kuota 30% ini bukan hanya sekadar angka-angka, bahwa perempuan mampu melampaui dari jumlah 30% tersebut.
Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem, memaparkan pentingnya kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu, yaitu pertama, perempuan memiliki peran yang strategis untuk menyosialisasi, menindak pelanggaran pemilu, dan pendidikan pemilih.
Kedua, hadirnya perempuan sebagai penyelenggara pemilu dapat mendorong peningkatan partisipasi perempuan di institusi politik lainnya. Ketiga hadirnya perempuan penyelenggara pemilu dapat melakukan pengawalan terhadap suara perempuan.
Sinergis dengan pendapat tersebut, Dhia Al Uyun, Dosen HTN Universitas Brawijaya, mengatakan bahwa sejatinya laki-laki dan perempuan dalam konteks berbagi peran. Partisipasi perempuan tanpa keterlibatan itu adalah suatu yang mustahil dan keterlibatan laki-laki berperan dalam memahami partisipasi manajemen. (*)