Pasca pelantikan Bupati terpilih Kabupaten Sampang oleh Presiden Prabowo, harapan baru menggema di tengah masyarakat. Namun, acapkali muncul inkonsistensi dalam kepemimpinan; janji-janji perubahan yang diucapkan kerap berbanding terbalik dengan kenyataan, yang justru berjalan di jalan sunyi yang berbeda.
Dalam momen ini, kekuasaan tampak sebagai panggung besar yang memanggil pemimpinnya untuk beraksi. Namun, publik tahu, kekuasaan bukan sekadar jabatan, tetapi tanggung jawab atas derita dan asa rakyat.
Kekuasaan di Sampang selama ini hadir sebagai simbol, lebih banyak merayakan kekuatan daripada melayani kebutuhan. Pelayanan publik berjalan perlahan, seolah waktu di Sampang berdetak lebih lambat dari daerah lain.
Pembangunan di Sampang pun seperti narasi yang setengah selesai, menjanjikan kemajuan tetapi terhenti di batas wacana. Jalanan yang rusak dan fasilitas umum yang terbengkalai menjadi saksi bisu janji-janji yang belum ditepati.
Di tengah kekuasaan yang mengalir dari satu pemimpin ke pemimpin lain, masyarakat Sampang tetap bergulat dengan kemiskinan. Mereka seolah hidup di luar narasi kemajuan, seperti cerita lama yang terlupakan.
Sampang selalu mengisi posisi puncak dalam daftar kemiskinan di Jawa Timur. Kondisi ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan cermin dari bagaimana kekuasaan memahami dan mengelola makna kesejahteraan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sampang terus berada di posisi terbawah. Di sini, pembangunan manusia tampak terpisah dari pembangunan fisik; tubuh kota dibangun, tetapi jiwa masyarakat dibiarkan rapuh.
Di balik angka-angka statistik itu, ada wajah-wajah yang menunggu untuk diakui keberadaannya. Masyarakat seolah hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang sibuk dengan dirinya sendiri.