Bangkalan – Pedagang kaki lima (PKL) telah menjadi bagian dari lanskap ekonomi Indonesia sejak masa kolonial Belanda, seiring dengan pembangunan trotoar sepanjang lima tapak kaki yang memberi ruang bagi aktivitas perdagangan informal.
Kehadiran PKL berperan sebagai solusi ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi di sisi lain menimbulkan tantangan dalam aspek ketertiban, kebersihan, dan estetika kota.
Untuk mengakomodasi peran PKL tanpa mengganggu tatanan perkotaan, pemerintah Indonesia menetapkan berbagai regulasi guna menata dan memberdayakan sektor informal ini.
Regulasi utama yang mengatur PKL mencakup Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL memberikan kerangka hukum bagi pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola aktivitas PKL.
Regulasi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012, yang memberikan pedoman rinci mengenai tata kelola PKL, termasuk klasifikasi, pendataan, serta hak dan kewajibannya.
Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam pengelolaan PKL melalui Peraturan Daerah (Perda), yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan spesifik di masing-masing wilayah.
Penataan PKL meliputi zonasi lokasi berjualan, penyediaan sarana yang layak, serta pengaturan waktu operasional agar tidak mengganggu lalu lintas dan pejalan kaki.
Pemberdayaan PKL mencakup akses terhadap pembiayaan, pelatihan keterampilan, serta pendampingan usaha agar mereka dapat berkembang secara berkelanjutan.