Dorong Sidang Istimewa, Nurdin Halid: MK Langgar Kewenangan, Pemilu Harus Kembali ke UUD 1945 Asli

Madurapers
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Nurdin Halid.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Nurdin Halid. (Foto: Fraksi Golkar DPR RI, 2025)

Jakarta – Anggota DPR RI, Nurdin Halid, mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Mengutip dari rilis berita Fraksi Partai Golkar DPR RI, Nurdin Halid menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam merumuskan pengaturan teknis pemilu. Ia menyebut lembaga yudikatif telah memasuki ranah legislatif sebagai pembuat undang-undang.

Wakil Ketua Komisi VI DPR itu menjelaskan kewenangan MK hanya menguji undang-undang terhadap UUD dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara. MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik serta perselisihan hasil pemilihan umum.

Ia juga menyatakan putusan MK mengenai pelaksanaan pemilu DPRD jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22 E ayat 1 juncto ayat 2. Pasal ini secara terang menyebutkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali dan termasuk pemilihan anggota DPRD.

“Keputusan MK ini tidak hanya cacat secara konstitusional tetapi menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, keuangan negara serta membingungkan publik dan masyarakat,” tegas Nurdin Halid, Jumat (05/07/2025). Ia melihat putusan tersebut mengubah konstruksi UUD 1945.

Menurut Nurdin, MK telah mengabaikan substansi dan filosofi Pasal 18 UUD 1945 yang menekankan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis. Selain itu, Pasal 22E UUD 1945 jelas menyebutkan pemilu memilih anggota DPR, DPD, DPRD Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden.

Putusan MK yang menjadikan rezim pilkada menjadi rezim pemilu memperluas kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Padahal, kewenangan tersebut hanya bersumber dari undang-undang, bukan dari UUD 1945 sebagaimana Pasal 24C.

Nurdin mengungkapkan, “Keputusan ini jelas membuat kegaduhan konstitusional yang pelik. Implikasi lain dari keputusan ini secara konstitusional juga sangat kompleks. Penyelerasan terhadap UU Pemda terkait Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih untuk masa jabatan 5 tahun terhitung sejak pelantikan. Belum lagi pengaturan tentang masa kekosongan DPRD di daerah.” Ia menghargai sifat putusan MK yang final dan mengikat.

Namun, ia menegaskan kewenangan MK hanya menguji undang-undang dan membatalkan jika bertentangan dengan Konstitusi. MK tidak berwenang merumuskan koreksi atas pasal undang-undang yang dibatalkan karena tugas tersebut milik DPR sebagai pembuat undang-undang.

Nurdin mempertanyakan, “Masalahnya, putusan MK bersifat final and binding. Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa putusan MK hari ini yang bersifat final and binding tidak dibatalkan oleh hakim-hakim MK periode berikutnya. Jika demikian, berarti MK telah menjelma menjadi lembaga yudikatif sekaligus legislatif.” Ia juga menambahkan, “Makin membingungkan karena MK bisa membatalkan putusan MA.”

Nurdin Halid melihat adanya konflik kewenangan antarlembaga tinggi negara pasca empat kali Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2002. Amandemen ini bertujuan mengoreksi kewenangan besar Presiden (Soeharto) yang sebelumnya terlalu dominan.