Ketimpangan ini mencerminkan bahwa partai-partai belum serius menjalankan amanat keterwakilan setara. Lembaga legislatif Sampang pun kembali hanya mewakili suara mayoritas laki-laki.
Minimnya jumlah perempuan di parlemen lokal tersebut, ia nilai sebagai cerminan lemahnya kehendak politik partai. Partai gagal memanfaatkan regulasi afirmatif yang sudah tersedia.
“Ketika hanya tiga perempuan duduk di parlemen, maka partai gagal melaksanakan ketentuan regulasi,” kata Mudabbir. Ia menyebut kegagalan ini sebagai bentuk lemahnya komitmen terhadap prinsip keadilan politik.
Menurut Mudabbir, rendahnya keterwakilan perempuan di dewan legislatif lokal, biasanya bukan disebabkan oleh minimnya potensi. Ia menilai karena sistem pencalonan dan dukungan politik dalam pemilihan masih berpihak pada struktur dominan laki-laki.
“Pemenuhan kuota 30 persen perempuan di parlemen itu bukan angka formalitas, tapi untuk menjamin suara dan kepentingan perempuan hadir,” ujar Mudabbir. Ia menilai, bahwa seleksi caleg masih elitis, marginalisasi potensi kader perempuan, dan budaya politik masyarakat masih bias gender.