Opini  

Efisiensi Anggaran 2025: Tantangan dan Solusi bagi Pemerintah Daerah

Madurapers
Mohammad Fauzi adalah peneliti/pengajar lembaga penelitian dan perguruan tinggi
Mohammad Fauzi adalah peneliti/pengajar lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Dok. Madurapers, 2025).

Pemerintah pusat telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan efisiensi belanja dalam APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Kebijakan ini bertujuan menghemat Rp306,69 triliun guna menjaga stabilitas fiskal dan meningkatkan efektivitas belanja pemerintah.

Dari total efisiensi anggaran tersebut, sekitar Rp50,59 triliun berasal dari transfer ke daerah, yang akan berdampak langsung pada kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik dan menjalankan pembangunan.

Inpres ini mewajibkan pemerintah daerah untuk membatasi belanja non-prioritas, seperti pengurangan 50% untuk perjalanan dinas dan pengeluaran seremonial. Selain itu, anggaran untuk honorarium dan kegiatan tanpa output terukur juga dikurangi agar lebih fokus pada program strategis.

Selain Inpres, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 Tahun 2025 turut mengatur rincian alokasi Transfer ke Daerah yang mengalami penyesuaian. Dana yang terdampak mencakup Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, dan Dana Desa.

Meskipun pagu belanja negara tetap Rp3.621,3 triliun, pemangkasan dana transfer ke daerah memunculkan tantangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi fiskal yang efektif.

 

Permasalahan Akibat Kebijakan

Salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah daerah akibat kebijakan ini adalah potensi penurunan kualitas layanan publik. Dengan pemangkasan Rp50,59 triliun dari dana transfer ke daerah, banyak pemerintah daerah harus melakukan penyesuaian anggaran yang dapat berdampak pada sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

Kebijakan ini berisiko menghambat semangat desentralisasi fiskal dan memperlemah kapasitas fiskal daerah. Daerah dengan APBD terbatas akan merasakan tekanan lebih besar dibandingkan daerah dengan kapasitas fiskal yang lebih kuat.

Sebagai contoh, Kabupaten Bangkalan memproyeksikan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp2,64 triliun dengan Belanja Daerah Rp2,68 triliun, sehingga terdapat defisit anggaran Rp44 miliar. Dengan adanya pemangkasan anggaran dari pusat, pemerintah daerah harus melakukan revisi dan koreksi belanja untuk menyesuaikan dengan kondisi fiskal baru.

Pemangkasan anggaran ini juga dapat menyebabkan: (1) penundaan atau pembatalan proyek infrastruktur yang telah direncanakan, (2) berkurangnya aktivitas ekonomi daerah, terutama pada sektor yang bergantung pada proyek pemerintah, dan (3) penurunan pendapatan UMKM yang selama ini mendapat manfaat dari belanja daerah.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), belanja pemerintah menyumbang sekitar 7%-9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dalam periode 2020-2024. Dengan pemotongan anggaran ini, pertumbuhan ekonomi daerah dapat melambat, terutama bagi daerah yang sangat bergantung pada dana transfer.

 

Analisis Kritis Kebijakan

Kebijakan efisiensi anggaran memang diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal nasional, namun dampaknya terhadap pemerintah daerah perlu diantisipasi dengan strategi yang lebih matang. Beberapa kritik utama terhadap kebijakan ini meliputi:

Pertama, kurangnya fleksibilitas dalam pemangkasan anggaran. Tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal yang sama. Pemotongan anggaran tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik setiap daerah dapat memperburuk ketimpangan fiskal antar daerah.

Kedua, efisiensi yang berpotensi mengorbankan pelayanan dasar. Kebijakan ini menuntut pemangkasan belanja non-prioritas, tetapi dalam praktiknya, banyak daerah kesulitan menyeimbangkan efisiensi dengan kebutuhan pelayanan publik yang terus meningkat.