Kebijakan ini berisiko menghambat semangat desentralisasi fiskal dan memperlemah kapasitas fiskal daerah. Daerah dengan APBD terbatas akan merasakan tekanan lebih besar dibandingkan daerah dengan kapasitas fiskal yang lebih kuat.
Sebagai contoh, Kabupaten Bangkalan memproyeksikan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp2,64 triliun dengan Belanja Daerah Rp2,68 triliun, sehingga terdapat defisit anggaran Rp44 miliar. Dengan adanya pemangkasan anggaran dari pusat, pemerintah daerah harus melakukan revisi dan koreksi belanja untuk menyesuaikan dengan kondisi fiskal baru.
Pemangkasan anggaran ini juga dapat menyebabkan: (1) penundaan atau pembatalan proyek infrastruktur yang telah direncanakan, (2) berkurangnya aktivitas ekonomi daerah, terutama pada sektor yang bergantung pada proyek pemerintah, dan (3) penurunan pendapatan UMKM yang selama ini mendapat manfaat dari belanja daerah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), belanja pemerintah menyumbang sekitar 7%-9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dalam periode 2020-2024. Dengan pemotongan anggaran ini, pertumbuhan ekonomi daerah dapat melambat, terutama bagi daerah yang sangat bergantung pada dana transfer.
Analisis Kritis Kebijakan
Kebijakan efisiensi anggaran memang diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal nasional, namun dampaknya terhadap pemerintah daerah perlu diantisipasi dengan strategi yang lebih matang. Beberapa kritik utama terhadap kebijakan ini meliputi:
Pertama, kurangnya fleksibilitas dalam pemangkasan anggaran. Tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal yang sama. Pemotongan anggaran tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik setiap daerah dapat memperburuk ketimpangan fiskal antar daerah.