Opini  

Haji: Komedi Spiritual dan Safari Jiwa

Avatar
Abdurrahman Wahid, mantan Ketua KMBY periode 2006–2008 dan pendiri Kita Santri, terus menginspirasi dengan pemuda semangat kepemimpinan dan kebangsaan.
Abdurrahman Wahid, mantan Ketua KMBY periode 2006–2008 dan pendiri Kita Santri, terus menginspirasi dengan pemuda semangat kepemimpinan dan kebangsaan. (Sumber Foto: Abdurrahman Wahid, 2025)

Haji bukan sekadar ibadah, tapi petualangan spiritual yang penuh kejutan dan ujian level puncak. Di Hotel “Hibbah Hijrah”, para jemaah KBIH sudah digembleng seperti atlet menjelang olimpiade iman. Bukan melawan lawan, tapi melawan ego, ekspektasi, dan kasur empuk yang tak ikut dalam koper.

Suasana spiritual dimulai sejak matahari tenggelam. Maghrib berjamaah, lalu Ratib al-Hadad menggema—dipimpin langsung oleh K.H. Lutfi Zawawi, sosok karismatik yang tak cuma pandai ceramah tapi juga lihai menguatkan mental. Kami merasa seperti pasukan spiritual yang siap turun gelanggang Armuzna.

Tapi satu hal tak pernah diajarkan di buku manasik: menghadapi jemputan bus yang level misterinya setara film thriller. Jam tiga dini hari, jemaah sudah standby di lobi hotel. Tapi bus? Datangnya bisa saat azan ashar.

Waktu seakan membeku di lantai lobi. Orang duduk, berdiri, selonjor, ganti posisi seperti strategi sepak bola bertahan. Pola ubin dan warna karpet pun jadi hafalan tak resmi semua jemaah.

Begitu sampai Arafah, kami kira derita selesai. Ternyata baru pemanasan. Tenda terlalu sempit, terlalu panas, dan terlalu banyak orang—tapi terlalu sedikit ruang buat rebahan.

Sebagian tidur di luar tenda, beralaskan terpal dan berselimut tekad. Kami mulai sadar, rumah terbaik bukan yang beratap, tapi yang bikin hati tenang. Malam itu, dzikir dan sandal jepit jadi sumber kedamaian.

Di tengah kelelahan, seorang bapak nyeletuk, “Untung ini Tanah Haram. Coba kalau di Jakarta, pasti sudah ribut.” Kami tertawa bukan karena lucu, tapi karena kalimat itu jujur dan pas menampar kenyataan.

Arafah mengajarkan satu hal: lapar dan sabar harus bisa hidup berdampingan. Ketika makanan datang saat tubuh hampir pingsan, kami tak tahu apakah itu sarapan, makan malam, atau uji ketahanan. Tapi kami belajar, sabar saat lapar itu biasa—sabar saat lapar dan disuruh sabar, itu luar biasa.

Tenda Arafah seperti posko bencana spiritual. Mi instan diseduh sambil tertawa getir. Suara adzan, desahan lelah, dan gumaman doa saling bersahutan dari tenda ke tenda.

Muzdalifah datang dengan kejutannya sendiri. Bus datang sesuka hati, kadang tak datang sama sekali. Akhirnya kami jalan kaki ke Mina, membawa kaki bengkak dan kepala yang penuh istighfar.

Sebagian tersesat bukan karena bodoh, tapi karena tak ada yang beri tahu arah. Peta tak berguna kalau sinyal hilang dan otot sudah protes. Kami pun pasrah, bukan karena putus asa, tapi karena sadar: di sini, Tuhan yang jadi navigator.

Akhirnya kami selesaikan rangkaian ibadah dengan thawaf dan sa’i. Kami adakan tasyakuran sederhana, seperti kemenangan tim yang berhasil melewati final dramatis. Semua petugas dan pembimbing, termasuk K.H. Lutfi Zawawi, dapat ucapan terima kasih tulus.

Pihak Kemenag tak membantah kekacauan yang terjadi. Mereka bicara apa adanya: sistem belum sempurna, koordinasi masih semrawut. Tapi pesan moralnya jelas—jangan jadikan haji tempat berdebat, karena ini ladang menahan diri.

Harapan kami tak tinggi. Cukup sistem lebih rapi, logistik tak sesat, dan bus datang sesuai jadwal. Supaya ibadah haji tak berubah jadi reality show “Survivor: Tanah Suci Edition.”

Justru di tengah kekacauan, kami menemukan makna terdalam. Ketika semua fasilitas gagal, Tuhan seakan berkata: “Sekarang lihat, siapa yang kamu andalkan?” Dan di situlah, kami paham—haji bukan tentang fasilitas, tapi tentang basis iman.

Sabar bukan hanya menahan emosi, tapi juga tetap bersyukur meski ingin marah. Kami belajar bahwa bahagia bukan soal kenyang, tapi soal hati yang bisa bilang: “Ya Allah, ini sulit, tapi aku ridha.” Rasanya seperti menang pertandingan setelah tertinggal dua gol.

Haji juga soal humor di tengah absurditas. Sandal hilang, arah kabur, makanan nyasar—semua jadi bagian dari komedi spiritual. Tapi justru di situlah spiritualitas paling jujur muncul: ketika kita bisa tertawa sambil terus bertawakal.

Akhirnya kami paham, haji adalah safari jiwa. Di tempat di mana sabar, ikhlas, tawakal, dan humor duduk semeja. Dan saat semua lelah sudah lewat, kami sadar: kami tak cuma pulang ke tanah air, tapi pulang ke diri sendiri—yang lebih bersih, lebih tenang, dan lebih dekat dengan-Nya.

 

Abdurrahman Wahid, penulis artikel ini adalah mantan Ketua KMBY periode 2006–2008 dan pendiri Kita Santri.